Nama dalam tataran Manusia.
Kerap kali kita mendengar jargon ataupun adagium yang menyatakan, “Apalah arti sebuah nama?”
Sepintas lalu, bila
kita berbicara dalam konteks kehidupan sehari-hari, jargon itu tidak
menjadi masalah alias dapat dimengerti. Misalnya dalam pergaulan
muda-mudi sekarang, nama malah sering dibuat menjadi object pembenaran terhadap jargon di atas. Seringkali mereka menggampangkan nama dengan dalih agar tidak ribet, gaul, atau agar… agar… yang lain, karena anak muda cenderung menghindari hal-hal yang mempertanyakan arti dan makna.
Nama yang sudah
baik itu tidak jarang diubah sedemikian rupa sesuai selera si pemakai
nama. Itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan “label” tertentu. Misalnya nama yang tadinya kental kedaerahan, dimodifikasi dengan nama yang berbau kebule-bulean. Nama yang sudah baik, diubah menjadi lebih “Cool” dengan tambahan kata-kata seram hingga kata-kata “nyeni” sekedar untuk mendapatkan sensasi.
Karena menganggap
nama itu tidak memiliki makna, maka dalam hal memberi nama pun, orang
hanya latah dan ikut-ikutan. Misalnya begitu mengingat nama anak
tetangga atau teman sekomplek, ya itu saja diberikan menjadi nama
anaknya. Sering mendengar nama Yudhi, ya diberilah nama anaknya Yudhi. Namun apabila dipertanyakan tentang makna nama Yudhi tersebut, hanya dijawab dengan mesem-mesem saja.
Pengalaman
seseorang yang baru-baru ini berbincang dengan saya, sewaktu ia bertugas
di Lampung. Ceritanya ia bertemu dengan seorang anak remaja yang cantik
jelita di sana. Namun sayang seribu sayang, sang anak ternyata diberi
nama Agli oleh kedua orang tuanya. ( ugly – bah inggris = buruk ).
Apa jawab orang
tuanya ketika dikonfirmasi tentang arti nama agli tersebut? Jawabanya
hanyalah, “Saya tidak mengerti maknanya, kebenaran saja dulu ada nama
Agli di komplek perumahan kami.”
Coba kita pikir,
apakah kedua orang tua dari Agli, secara tidak langsung menganut prinsip
jargon “Apalah arti sebuah nama?”, atau “cuek”, tanpa berfikir akibat
yang harus ditanggung anaknya kelak, jika mengetahui arti namanya?.
Sungguh sebuah arti
yang menyesakkan dada, membuat sedih, malu, sehingga cenderung
membuatnya minder (inferior), bahkan tidak jarang akan mengait-ngaitkan
arti namanya itu dengan kesulitan hidupnya kelak.
Nama dalam tataran Ilahi.
Nama dalam tataran Ilahi memiliki makna kemuliaan, Doa, panggilan, dan permohonan.
Namun dalam hidupnya, manusia seringkali menyalah gunakan Nama Tuhan, dengan menjadikanya “perisai” dalam pembenaran diri, atau mencari keuntungan diri sendiri dengan menyebut Nama Tuhan.
Kita mengenal adat
orang Jahudi yang jumawa, sehingga tanpa dijelaskan pun banyak manusia
tidak bersimpati terhadap perilaku orang Jahudi. Namun walaupun begitu,
ternyata untuk meyebut nama Tuhan (YHWH) mereka sebut “adonai”. Hal ini semata-mata untuk menghindari menyebut Nama Tuhan dengan serampangan, dan tidak tepat.
Sebaliknya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, seringkali para Pejabat mengatas
namakan Tuhan, bahkan disumpah memakai kitab Suci, sebelum ia memangku
jabatan tertentu, namun apabila kita
telisik kenyataan yang terjadi, apakah para pejabat itu menepati
janjinya terhadap sang khalik setelah menjalankan masa jabatannya?
Apakah serta-merta korupsi dapat dihentikan dengan sumpah Jabatan itu?
Semudah pejabat itu mengucapkan sumpahnya dengan embel-embel Nama Tuhan?
Nyatanya tidak bukan.
Nyata benar bahwa sebuah Nama tidak dapat diucapkan dengan mudah.
Begitu juga dengan praktik perdukunan (okultisme ) yang melegitimasi praktik mereka dengan menyebut Nama Tuhan, bahkan mempersilahkan pasien berdoa menurut agama dan kepercayaan
masing-masing sebelum menjalani pengobatan. Ini adalah salah satu
bentuk menyebut Nama Tuhan dengan tujuan pembenaran diri sendiri, dan
mengambil keuntungan untuk diri sendiri, tak obahnya dengan pejabat yang
bersumpah demi Nama Tuhan itu.
Demikian juga dengan anak yang menjawab pertanyaan ibunya dengan menyebutkan, “Demi Nama Tuhan,” Atau
pun seorang suami yang juga menjawab pertanyaan sang istri dengan,
“Demi NamaTuhan,”. Seolah Jawaban “Demi Nama Tuhan” adalah senjata ampuh
yang dapat segera membungkam mulut Istri, yang segera mengakhiri
pertanyaan-pertanyaannya? Sungguh penyalah gunaan sebuah Nama, apalagi
nama itu adalah Nama Tuhan.
Hendaknya apabila
kita menyebut sebuah Nama, maka seperti kita menyebut Nama Tuhan dengan
maksud menyenangkan, memuliakan, memuji, bahkan memohonkan sesuatu, maka
seyogiyanya apabila kita memanggil nama seseorang atau memberi nama
pada seseorang harus memenuhi kaidah tersebut.
Nama adalah sebuah Doa,
Panggilan, sekaligus harapan agar seseorang dapat memenuhi panggilan
kita, agar yang dipanggil merasa diangkat derajatnya, bukan sebaliknya.
Seyogiyanya umat manusia memberi nama dengan makna yang baik, sekaligus
Doa yang baik terhadap anak dan kerabatnya.
Berbicara tentang nama, memang tidak ada habisnya. Seperti pepatah mengatakan, “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan Nama.” Namun pertanyaan penting pula, bagaimana kita meninggalkan nama yang harum bagi generasi di belakang kita?
Mengabadikan Nama
Musa, adalah sebuah
nama yang abadi dan selalu disebut-sebut oleh generasi di belakangnya.
Demikian juga tokoh dan Nabi yang ada dalam agama samawi lainnya . Namun
pernahkah kita bertanya pada diri sendiri , mengapa nama mereka
demikian abadinya?
Ya, meraka adalah nabi, yang dipilih oleh Allah. Mereka adalah manusia biasa yang memiliki rekam jejak yang luar biasa dalam memberi arti bagi orang lain atau sesame.
Namun dibalik itu
semua, tulisan mereka adalah salah satu wahana yang selalu menyebar
luaskan dogma yang diembankan pada mereka, walaupun mereka telah mati.
Dapatkah ajaran dan kaidah-kaidah itu kita nikmati jika tidak ditulisakan oleh para nabi atau rekan-rekannya?
Dikisahkan oleh
sejarah, sewaktu Firaun membangun pyramid di Mesiar, konon dalam kurun
waktu itulah Musa menuliskan kitab Kejadian hingga Ulangan, yang kita
kenal dengan kitab Musa. Apabila kita telisik sekarang, bagaimana
kondisi Piramid yang telah rusak itu, dapatlah kita ambil kesimpulan,
bahwa tulisan nabi Musa lebih abadi dibanding dengan pyramid Firaun itu.
Bahkan tiap saat, semakin bertambah saja orang yang dapat membaca tulisan itu. Itulah perbedaan antara yang bersifat Phisik dengan yang spiritual. Musa berjuang melalui spiritual, sedangkan Firaun berjuang dari sisi phisik ( kekuatan dunia ) yang kasat mata.
Sekarang kita dapat membedakan dan memilih salah satu yang paling penting dari keduanya bukan?
Jagalah nama anda dengan jejak rekam yang baik selama anda hidup di dunia, tuliskanlah
gagasan dan kebijaksaan anda untuk dibagikan pada generasi selanjutnya,
dengan demikian nama anda akan dikenang dalam keabadian.
0 komentar:
Posting Komentar