Pendahuluan
Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada kerajaan yang dikenal dalam sejarah. Tidak ada suatu catatan yang menginformasikan bentuk system pemerintahannya, baik yang menganut system feodal maupun demokratis, selain system kekerabatan yang berstelsel matrilineal. Meskipun catatan sejarah mengatakan bahwa ada kekuasaan asing yang bercokol di Minangkabu datang dari utara (semisal kerajaan dari Aceh), maupun dari selatan ( semisal kerajaan Majapahit), melewati pantai timur dan pantai barat Sumatera.
Pihak asing menaklukkan minangkabau karena ingin menguasai kekayaan yang tersimpan di buminya, seperti emas, batu bara, rempah – rempah. Masing masing penguasa asing itu membawa agama anutan masing – masing dan menyebarkan secara paksa dan juga persuasive. Bagi penduduk asli tentu mereka merasakan pahit getirnya dibawah pengarug asing itu. Sehingga mereka mencoba mengungkapkannya dalam bentuk kata – kata kiasan serta symbol – symbol yang diungkapkan dalam pepatah petitih, yang sebenarnya berisi nasehat dan petuah. Alamlah tempat mereka berguru. Sehingga lahirlah falsafah alam “ alam takambang jadi guru “.
Sesungguhnya kegetiran dibawah pengaruh asing – telah memperkuat keyakinan suku bangsa ini akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dalam paham egaliter. Mereka berusaha menghapus masa suram dibawah pengaruh asing tadi. Mereka menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng –dongengan. Selain alasan bahwa, falsafah yang dibawah pengaruh asing itu tidak sesuai dengan falsafah yang mereka pahami.
Tambo juga mengkisahkan tentang peristiwa sejarah, seperti sejarah Melayu, sejarah Majapahit, bahkan juga sejarah Islam,
Ekspedisi Pamalayu dalam versi Tambo
“ Pamalayu” diartikan banyak sejarawan sebagai perang melawan Melayu. Menurut buku “ Negarakertagama”, yang digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, ekspedisi itu bertujuan menundukkan kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu yang bernama kerajaan Darmasraya itu, berupaya diduduki oleh Kerajaan Singosari dibawah Raja Kertanegara untuk melakukan gerakan politik dan militer. Ini yang digambarkan dalam Tambo sebagai
"Ada Rusa dari laut yang tanduknya bercabang-cabang yang datang membawa balatentaranya atau Anggang dari laut yang telornya jatuh di tanah Minangkabau"
Dua orang Datuk Minangkabau di dalam Sejarah
Menurut Sejarah, dua orang putri Melayu yang bernama Dara Petak* dan Dara Jingga*, berkunjung ke Singosari, Sebagai tanda persahabatan kedatangan kedua dara ini, diterima oleh Raden Wijaya yang sudah menjadi raja. Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit.
Salah satu putri kerajaan melayu yang bernama Dara Petak, kemudian dijadikan permaisuri oleh Raden wijaya, disamping ia memperistri empat orang putri Kertanegara. Dari Dara Petak ini lahir satu-satunya putera laki-laki Raden Wijaya, yang diberi nama Jayanagara.
Sedangkan Dara Jingga, diperistri oleh seorang kerabat Istana. Dara Jingga kembali ke Darmasyraya dalam keadaan hamil. Di Darmasyraya inilah ia melahirkan anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama “ADITYAWARMAN”. Ada dugaan yang menghamili Dara Jingga adalah Raden Wijaya, yang setelah lahir bernama “ Adityawarman”.
Kemudian Dara Jingga menikah dengan Wiswarupakumara, seorang pejabat tinggi Majapahit di Darmasyraya. Mungkin dari perkawinannya yang kedua ini, Dara Jingga melahirkan seorang putera lagi yang kemudian bernama Prapatih.
Nama Prapatih ini kemudian muncul dalam tulisan arca Amoghapasa, yang sekarang diletakkan di Padang Candi dekat Pagaruyuang. Prapatih dan Adityawarman ini, bersama-sama mengembangkan kerajaan di wilayah Minangkabau.
Pitono Hardjowardoyo dan Moens – dalam bukunya Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam masa kejayaannya terakhir. Ia menduga bahwa Prapatih itu adalah Perpatih nan Sabatang.
Kedua ahli ini menganalisa, bahwa dalam pada arca Amoghapasa tertulis tiga nama, yaitu : Adityawarman (mataningisa), permaisuri (matagini) dan Dewa Tuhan, yang merupakan perupaan kelompok tiga seperti yang dilukiskan ajaran BIRAWA yang dianut oleh Aditiawarman, yaitu Siwa (Wirabhada), Sati (Bhadrakali), dan Daksa.
Katanya lebih lanjut bahwa Daksa Prajapati, Dewa Tuhan, dalam perjalanan masa harus menyerahkan takhtanya kepada Siwa, yang dalam hal ini raja bangsa Melayu – menyerahkan kerajaannya kepada kepada Adityawarman sesudah Daksa dikalahkan Siwa. Setealh disadarkan kembali, Daksa dijadikan gana-gananya, (dalam hal ini sesudah Dewa Tuhan Waruyu Prapatih ditaklukkan ia dijadikan Prapatih.
Dua orang Datuk Minangkabau dalam Tambo
Jika mengambil persamaan dari kelompok tiga ini, yang terdiri dari Datuk Ketemanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang dan Cati Bilang Pandai, maka kisahnya adalah sebagai berikut:
Bahwa setelah Dara Jingga pulang ke Minangkabau dan melahirkan Adityawarman, ia menikah lagi dengan Wiswarapakumara yang menjadi wakil kerajaan Majapahit mendampingi Sri Maharaja Diraja. Dari Perkawinan kedua ini, Dara Jingga melahirkan Dewa Tuhan Prapatih. Adityawarman dan Prapatih merupakan saudara seibu.
Didalam Tambo dikatakan Datuk Ketemanggungan adalah anak raja. Ketika ibunya menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai , lahirlah adik seibunya yang bernama Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dengan demikian dapat diduga bahwa Adityawarman adalah Datuk Ketemanggungan, Prapatih adalah Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan Wiswarupakumara adalah Cati Bilang Pandai.
APenulis mengemukakan, bahwa Dara Jingga seperti yang dikisahkan dalam sejarah – mempunyai nama lain dalam Tambo, yaitu Bundokanduang.
Dang Tuanku dan Cindurmato ialah Adityawarman dan Prapatih.
Perbedaannya adalah dalam Tambo dikisahkan bahwa Dang Tuanku dan Cindur Mato adalah bersaudara satu ayah dengan dua ibu. (lihat “ kerajaan Minangkabau Pagaruyung dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau tahun 1970 di Batusangkar, Asmaniar Z. Idris).
Sumber :
Alam takambang Jadi Guru - Adat dan kebudayaan Minangkabau , AA. NAVIS
Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada kerajaan yang dikenal dalam sejarah. Tidak ada suatu catatan yang menginformasikan bentuk system pemerintahannya, baik yang menganut system feodal maupun demokratis, selain system kekerabatan yang berstelsel matrilineal. Meskipun catatan sejarah mengatakan bahwa ada kekuasaan asing yang bercokol di Minangkabu datang dari utara (semisal kerajaan dari Aceh), maupun dari selatan ( semisal kerajaan Majapahit), melewati pantai timur dan pantai barat Sumatera.
Pihak asing menaklukkan minangkabau karena ingin menguasai kekayaan yang tersimpan di buminya, seperti emas, batu bara, rempah – rempah. Masing masing penguasa asing itu membawa agama anutan masing – masing dan menyebarkan secara paksa dan juga persuasive. Bagi penduduk asli tentu mereka merasakan pahit getirnya dibawah pengarug asing itu. Sehingga mereka mencoba mengungkapkannya dalam bentuk kata – kata kiasan serta symbol – symbol yang diungkapkan dalam pepatah petitih, yang sebenarnya berisi nasehat dan petuah. Alamlah tempat mereka berguru. Sehingga lahirlah falsafah alam “ alam takambang jadi guru “.
Sesungguhnya kegetiran dibawah pengaruh asing – telah memperkuat keyakinan suku bangsa ini akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dalam paham egaliter. Mereka berusaha menghapus masa suram dibawah pengaruh asing tadi. Mereka menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng –dongengan. Selain alasan bahwa, falsafah yang dibawah pengaruh asing itu tidak sesuai dengan falsafah yang mereka pahami.
Tambo juga mengkisahkan tentang peristiwa sejarah, seperti sejarah Melayu, sejarah Majapahit, bahkan juga sejarah Islam,
Ekspedisi Pamalayu dalam versi Tambo
“ Pamalayu” diartikan banyak sejarawan sebagai perang melawan Melayu. Menurut buku “ Negarakertagama”, yang digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, ekspedisi itu bertujuan menundukkan kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu yang bernama kerajaan Darmasraya itu, berupaya diduduki oleh Kerajaan Singosari dibawah Raja Kertanegara untuk melakukan gerakan politik dan militer. Ini yang digambarkan dalam Tambo sebagai
"Ada Rusa dari laut yang tanduknya bercabang-cabang yang datang membawa balatentaranya atau Anggang dari laut yang telornya jatuh di tanah Minangkabau"
Dua orang Datuk Minangkabau di dalam Sejarah
Menurut Sejarah, dua orang putri Melayu yang bernama Dara Petak* dan Dara Jingga*, berkunjung ke Singosari, Sebagai tanda persahabatan kedatangan kedua dara ini, diterima oleh Raden Wijaya yang sudah menjadi raja. Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit.
Salah satu putri kerajaan melayu yang bernama Dara Petak, kemudian dijadikan permaisuri oleh Raden wijaya, disamping ia memperistri empat orang putri Kertanegara. Dari Dara Petak ini lahir satu-satunya putera laki-laki Raden Wijaya, yang diberi nama Jayanagara.
Sedangkan Dara Jingga, diperistri oleh seorang kerabat Istana. Dara Jingga kembali ke Darmasyraya dalam keadaan hamil. Di Darmasyraya inilah ia melahirkan anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama “ADITYAWARMAN”. Ada dugaan yang menghamili Dara Jingga adalah Raden Wijaya, yang setelah lahir bernama “ Adityawarman”.
Kemudian Dara Jingga menikah dengan Wiswarupakumara, seorang pejabat tinggi Majapahit di Darmasyraya. Mungkin dari perkawinannya yang kedua ini, Dara Jingga melahirkan seorang putera lagi yang kemudian bernama Prapatih.
Nama Prapatih ini kemudian muncul dalam tulisan arca Amoghapasa, yang sekarang diletakkan di Padang Candi dekat Pagaruyuang. Prapatih dan Adityawarman ini, bersama-sama mengembangkan kerajaan di wilayah Minangkabau.
Pitono Hardjowardoyo dan Moens – dalam bukunya Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam masa kejayaannya terakhir. Ia menduga bahwa Prapatih itu adalah Perpatih nan Sabatang.
Kedua ahli ini menganalisa, bahwa dalam pada arca Amoghapasa tertulis tiga nama, yaitu : Adityawarman (mataningisa), permaisuri (matagini) dan Dewa Tuhan, yang merupakan perupaan kelompok tiga seperti yang dilukiskan ajaran BIRAWA yang dianut oleh Aditiawarman, yaitu Siwa (Wirabhada), Sati (Bhadrakali), dan Daksa.
Katanya lebih lanjut bahwa Daksa Prajapati, Dewa Tuhan, dalam perjalanan masa harus menyerahkan takhtanya kepada Siwa, yang dalam hal ini raja bangsa Melayu – menyerahkan kerajaannya kepada kepada Adityawarman sesudah Daksa dikalahkan Siwa. Setealh disadarkan kembali, Daksa dijadikan gana-gananya, (dalam hal ini sesudah Dewa Tuhan Waruyu Prapatih ditaklukkan ia dijadikan Prapatih.
Dua orang Datuk Minangkabau dalam Tambo
Jika mengambil persamaan dari kelompok tiga ini, yang terdiri dari Datuk Ketemanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang dan Cati Bilang Pandai, maka kisahnya adalah sebagai berikut:
Bahwa setelah Dara Jingga pulang ke Minangkabau dan melahirkan Adityawarman, ia menikah lagi dengan Wiswarapakumara yang menjadi wakil kerajaan Majapahit mendampingi Sri Maharaja Diraja. Dari Perkawinan kedua ini, Dara Jingga melahirkan Dewa Tuhan Prapatih. Adityawarman dan Prapatih merupakan saudara seibu.
Didalam Tambo dikatakan Datuk Ketemanggungan adalah anak raja. Ketika ibunya menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai , lahirlah adik seibunya yang bernama Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dengan demikian dapat diduga bahwa Adityawarman adalah Datuk Ketemanggungan, Prapatih adalah Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan Wiswarupakumara adalah Cati Bilang Pandai.
APenulis mengemukakan, bahwa Dara Jingga seperti yang dikisahkan dalam sejarah – mempunyai nama lain dalam Tambo, yaitu Bundokanduang.
Dang Tuanku dan Cindurmato ialah Adityawarman dan Prapatih.
Perbedaannya adalah dalam Tambo dikisahkan bahwa Dang Tuanku dan Cindur Mato adalah bersaudara satu ayah dengan dua ibu. (lihat “ kerajaan Minangkabau Pagaruyung dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau tahun 1970 di Batusangkar, Asmaniar Z. Idris).
Sumber :
Alam takambang Jadi Guru - Adat dan kebudayaan Minangkabau , AA. NAVIS