Sulitnya cari Jenderal seperti Hoegeng di Polri
Korupsi dan suap sulit diberantas di lingkungan Polri. Gaya hidup mewah para jenderal serta kurangnya teladan seperti Jenderal Hoegeng, membuat institusi ini sulit berubah.
"Salah satu penyebab tidak berjalannya reformasi kultur sehingga tetap berlangsungnya korupsi di Polri adalah miskinnya teladan dari atasan dan jenderal. Gaya hidup para jenderal yang bergelimang kemewahan misalnya rumahnya di Pondok Indah, sekaligus miskin prestasi menjadi dorongan korupsi bawahan," ujar anggota Komisi III DPR Eva Sundari kepada merdeka.com, Jumat (3/8).
Eva menuding dugaan korupsi yang terjadi di Korps Lalu Lintas menjadi salah satu bukti. Dalam kasus pengadaan simulator pengemudi itu diduga ada setoran pada atasan dan dugaan korupsi berjamaah. Ini yang turut membuat rusak mental kepolisian.
"Adanya tradisi suap, upeti untuk atasan terutama untuk kepangkatan menjadikan adanya demoralisasi bawahan. Teladan yang ada di Polri bukan mengejar prestasi dan berlomba-lomba mengabdi tetapi untuk mengejar materi," kritik Eva.
Eva menegaskan untuk menghancurkan korupsi dan menghapus mental korup, perlu kepemimpinan yang kuat dan tegas. Pemimpin ini juga harus bisa memberikan teladan soal kesederhanaan, pengabdian dan tanggung jawab.
"Untuk memutus lingkaran setan tersebut, perlu kepemimpinan yang kuat sekaligus meneladani. Tidak ada transformasi organisasi tanpa komitmen politik yang kuat dari pucuk pimpinan yang disertai keteladanan dari pucuk pimpinan tersebut," kata politikus PDIP tersebut.
-----------------------------------------------------------
Cerita Hoegeng perintahkan istrinya tutup toko bunga Kamis
Jenderal Hoegeng Imam Santosa dikenal haram menerima uang suap atau sesuatu pemberian di luar gaji dan tunjangannya. Sebagai perwira, Hoegeng hidup pas-pasan. Untuk itulah istri Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu cukup laris dan terus berkembang.
Tapi sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut dirjen imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga.
"Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," jelas Hoegeng.
Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.
"Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak," kata Merry.
Sejak awal kemerdekaan jawatan imigrasi dikenal sebagai sarang korupsi dan penyelundupan. Itulah alasan Presiden Soekarno mengkaryakan Hoegeng di posisi tersebut. Benar saja, Hoegeng tak memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kekayaan. Padahal imigrasi dikenal sebagai 'lahan basah' bagi para PNS untuk memperkaya diri.
Semasa dikaryakan sebagai kepala jawatan Imigrasi, Hoegeng masih tetap mengenakan seragam polisi. Dia hanya mau mengambil gajinya dari kepolisian. Gaji dan tunjangan sebagai kepala jawatan imigrasi tak disentuh.
Tahun 1965, Hoegeng berhenti menjabat kepala jawatan imigrasi. Dia diangkat menjadi menteri iuran negara (kini disebut bea dan cukai). Di sinilah Hoegeng membongkar kasus penyelundupan tekstil besar-besaran.
Tahun 1966, setelah bertugas di luar Polri selama enam tahun, Hoegeng kembali ke Korps Bhayangkara. Dia menjabat Wakapolri yang pada saat itu bernama Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Tahun 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri. Lagi-lagi dia masih mempertahankan gaya sederhananya. Hoegeng menolak mobil dinas sedan mewah dan memilih jip.
Maka saat para jenderal polisi terjerat kasus dugaan korupsi, Hoegeng mungkin akan mengurut dada karena sedih.
------------------------------------------------------
Cerita Hoegeng dirayu pengusaha cantik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan pegawai pajak Sidoarjo Tommy Hendratno karena diduga hendak menerima suap Rp 200 juta. Praktik suap menyuap bukan hal baru di negeri ini.
Survei Soegeng Sarjadi Syndicate menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Disusul kantor pajak dan kepolisian. Ketiga lembaga ini memang dikenal 'basah'. Suap menyuap kerap terjadi. Mulai dari uang, mobil, barang mewah, hingga wanita.
Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun merasakan godaan tersebut. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.
Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.
Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.
Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.
Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.
Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah pernah menulis soal krisis kejujuran di negeri ini. Musni menyoroti kurangnya teladan dari para pemimpin untuk memberikan contoh bersikap jujur dan bersih. Diharapkan teladan seperti Hoegeng bisa membuat masyarakat berubah.
Menurut Musni, kejujuran di Indonesia walau sulit masih bisa ditegakkan. Tapi Butuh niat, kemauan, tekad dan contoh teladan dari para pemimpin. Kejujuran tidak akan pernah tegak di Indonesia jika tidak ada semua itu.
"Dengan adanya figur yang memberi contoh dan teladan, maka dalam waktu tidak terlalu lama, kejujuran dapat diwujudkan di muka bumi Indonesia," tulis Musni.
-----------------------------------------------------------
Kisah Hoegeng dan Sarwo Edhie berantas korupsi di Papua
Papua masih bergolak. Hampir setiap hari terjadi penembakan yang menewaskan warga sipil, polisi maupun prajurit TNI. Pagi ini, Terius Tabuni, seorang warga sipil, tewas ditembak orang tak dikenal.
Semalam Rabu (6/6) sekitar pukul 21.00 WIB, Arwan Kusdini, pegawai negeri sipil yang bertugas Komando Daerah militer XVII/Cenderawasih, tewas ditembak oleh orang tak dikenal. Selasa (5/6), tiga orang ditembak dalam sehari. Insiden itu terjadi di Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, di depan kantor Dishub Provinsi Papua.
Masalah di Papua banyak dipicu ketimpangan ekonomi dan korupsi yang tidak berkesudahan. Pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua seperti jalan di tempat. Dana otonomi khusus yang besar tak mampu mengubah nasib Papua. Tahun ini, dana otsus Provinsi Papua sebesar Rp 3,83 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 1,64 triliun. Dari tahun 2002 hingga 2010, jumlah dana yang digelontarkan pemerintah mencapai Rp 28,84 triliun.
Korupsi di Papua sudah terjadi sejak dulu. Awal tahun 1970an, Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso pernah membongkar satu di antaranya. Kasus ini awalnya tertutup. Hoegeng pun menemukannya secara iseng-iseng. Suatu malam, Hoegeng yang hobi main radio amatir, berbicara dengan pastor di Papua. pastor itu menginformasikan ada pemberontakan polisi putra daerah Papua akibat korupsi akut di Papua.
Setelah Papua bergabung dengan Indonesia tahun 1969, pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan mengirimkan uang, sembako, bahan bangunan dan bantuan lain. Ternyata bantuan ini malah dikorupsi.
"Bahan bantuan ini dikorup oleh para pejabat yang bertugas membaginya. Sementara kebanyakan para pejabat yang korup itu, bukanlah putra Papua," demikian ditulis dalam buku 'Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-' terbitan Bentang.
Akibat korupsi ini, para polisi yang putra asli Papua marah dan memberontak di Ennaratoli. Kasus ini berujung panjang. Presiden Soeharto dan Pangdam Cendrawasih Mayjen Sarwo Edhie ikut turun menyelesaikan pemberontakan dan korupsi di Ennaratoli.
Hoegeng pun berangkat ke Papua. Dia melakukan koordinasi dengan Pangdam Cenderawasih, Gubernur Papua, Kapolda Papua, hingga tingkat Kapolres. Hoegeng mengusut tuntas kasus ini. Sarwo Edhie pun menyelesaikan pemberontakan para polisi dengan cara yang bijaksana, bukan dengan kekuatan militer.
Hoegeng dan Sarwo Edhie dikenal berani dan lurus. Di Papua keduanya pun sempat curhat. Kira-kira siapa yang lebih dulu dipensiunkan Soeharto. Soeharto menganggap Sarwo sebagai saingan karena kepopuleran mantan komandan Resimen Para Komando ANgkatan Darat (RPKAD) itu. Apalagi sengaja dihembuskan kabar jika Sarwo Edhie akan mendongkel Soeharto. Padahal sama sekali Sarwo Edhie tidak melakukan apa-apa.
Sementara Hoegeng tanpa pandang bulu berusaha mengungkap semua kasus pidana. Tak peduli siapa bekingnya, dan masa bodoh pelakunya anak pejabat. Seperti kasus pemerkosaan Sum Kuning dan penyelundupan mobil mewah yang diduga pelakunya dekat dengan lingkaran keluarga Cendana.
Keduanya menebak-nebak siapa yang akan lebih dulu dilengserkan dari jabatannya. Ternyata Hoegeng yang dipensiunkan lebih dulu dilengserkan tahun 1971 dan ditawari jabatan duta besar. Hoegeng menolak menjadi duta besar. Tahun 1975, giliran Sarwo Edhie yang dilengserkan sebagai perwira tinggi TNI. Sarwo diangkat menjadi duta besar di Korea Selatan.
----------------------------------------------------
Kapolri Hoegeng atur lalu lintas di perempatan
Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.
"Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi."
Demikian ditulis dalam buku 'Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-' terbitan Bentang.
Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat.
"Hanya penjahat saya yang boleh takut pada polisi," tegas Hoegeng soal fungsi pengayoman polisi.
Hoegeng juga tidak menempatkan pos jaga di depan rumahnya. Dia ingin tidak ada jarak antara dirinya dan masyarakat. Rumah itulah yang selalu jadi 'Mabes Polri 24 Jam'. Artinya Hoegeng siap melaksanakan tugas selama 24 jam. Di rumah itu pula Hoegeng memiliki stasiun radio amatir. Setiap malam dia menghubungi para Kapolda untuk menanyakan berbagai kasus.
Sayang akhirnya Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto. Keberaniannya dianggap mengganggu kepentingan keluarga Cendana dan kroni mereka. Hoegeng menjabat 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971, hanya sebentar. Tapi teladan Hoegeng dikenang sepanjang masa.
--------------------------------------------------------
Kisah lucu Jenderal Hoegeng paksa bandar judi Hoegeng ganti nama
Cerita kejujuran dan kiprah mantan Kapolri Hoegeng Iman Santosa seolah tiada habisnya. Cerita ini menarik di kala kepolisian banyak diserang tudingan korupsi, seperti pada kasus simulator SIM. Ada kejadian lucu mengenai nama Hoegeng terkait perjudian.
Suatu kali, mantan Kapolri Widodo Budidarmo (menjabat 1974-1978) sedang mengikuti upacara peringatan hari Proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus di Medan. Ketika itu, tahun 1967, Widodo adalah Panglima Daerah Kepolisian II Sumatera Utara. Widodo ikut upacara bersama gubernur dan anggota Muspida Sumut lainnya. Tiba-tiba seorang polisi tergesa-gesa mendatangi Widodo.
"Pak Hoegeng ingin bicara SSB (short side band) dengan bapak, sangat penting," ujar polisi itu. Hoegeng saat itu sudah menjadi Kapolri.
Widodo pun tersentak. Jika Kapolri menelepon, pasti ada sesuatu yang penting akan disampaikan. Setelah minta izin kepada gubernur dan anggota Muspida lainnya, dengan tergesa-gesa Widodo segera meluncur ke kantor Polda Sumatra Utara. Ia tinggalkan upacara 17 agustus yang belum selesai."Ada perintah apa pak Hoegeng?" tanya Widodo di depan pesawat SSB.
Di ujung sana terdengar suara khas Hoegeng secara tenor. "Begini mas Widodo, di Medan ada bandar judi memakai nama saya untuk beking. Tolong dicari siapa orang itu dan dilaporkan kembali pada saya, tidak lebih dari jam 12.00 siang ini," perintah Hoegeng. "Siap pak, akan saya kerjakan," kata Widodo dikutip dari Semua karena kuasa dan kasih-Nya: biografi Widodo Budidarmo karangan Baskara Trisila dan Hari Nugroho.
Menurut Widodo, Hoegeng paling keras dan tidak kenal kompromi dengan perjudian. Siapa pun tahu jendral yang mempunyai hobi menyanyi lagu berirama Hawaian ini bersih dan tak pandang bulu menangkap siapa pun yang melakukan perjudian. Jika sekarang namanya dipakai sebagai beking judi di Medan, Widodo paham bagaiman geramnya Hoegeng.
Widodo segera memanggil asisten intel Kolonel Polisi Bismo Soejitno untuk mengusut hal ini. "Cari siapa yang memakai nama pak Hoegeng," perintah Widodo.
Asisten intel seperti biasa bertindak cepat. Kurang dari satu setengah jam kemudian Bismo datang melapor. "Ada pak, orang namanya Yasper Hoegeng. Nama aslinya Yap Hao Ging, tapi namanya diubah menjadi Yasper Hoegeng lewat keputusan pengadilan," kata Bismo. Yasper Hoegeng rupanya bukan bandar judi melainkan penjual lotere.
Widodo segera melaporkan hasil temuannya itu kepada Hoegeng. Juga tentang nama Yasper Hoegeng yang sudah diputuskan melalui prosedur hukum. Tapi jawaban Hoegeng singkat saja. "Mas Widodo, saya tidak peduli apakah perubahan namanya diputuskan pengadilan atau tidak, suruh dia ubah namanya," tegas Hoegeng.
Ini sebuah tugas yang tidak mudah. Widodo kemudian memerintahkan Bismo untuk mendatangi Yasper dan memintanya tidak memakai nama "Hoegeng" lagi. kemudian tidak sampai satu jam Bismo kembali. "Berhasil Pak, dia mau mengubah namanya. Sekarang tidak ada lagi kata Hoegeng di namanya," kata Bismo.
Widodo langsung melapor lagi kepada Hoegeng yang kemudian lega mendengar hasil kerja Widodo. Selesailah sudah urusan "Hoegeng" sebagai beking judi itu. [tts]
----------------------------------------------------------
Jenderal Hoegeng: Jangan sampai polisi bisa dibeli
Semasa menjabat, Kapolri Jenderal Hoegeng pernah berpesan agar polisi tidak menerima suap. Polisi harus mengayomi masyarakat. Jangan sampai polisi bisa dibeli hingga akhirnya menjadi polisi bayaran.
Hal itu dituturkan mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Buddarmo dalam Buku 'Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-' terbitan Bentang.
"Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli," tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa itu.
Widodo tahu Hoegeng tidak asal memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.
"Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik," kenang Widodo.
Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi kriminal.
Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.
"Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan," jelas Widodo.
Sayangnya Hoegeng belum menang seperti Eliot Ness di Chicago. Sayangnya saat itu Jenderal Hoegeng dilengserkan Soeharto karena dianggap mengusik bisnis keluarga Cendana. Polisi jujur ini dicopot tiba-tiba sebelum berhasil membabat habis para koruptor dan mafia di Indonesia. Rumornya karena Hoegeng berani mengusik keluarga Cendana.
Hoegeng menjabat 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971, hanya sebentar. Tapi teladan Hoegeng dikenang sepanjang masa.
BACA JUGA :