Sastrawan Belanda yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia. Ada yang sekedar menetap di Indonesia, adapula yang memang memiliki darah Indonesia. Berikut 5 Sastrawan Belanda yang Identik dengan Indonesia:
1. Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli “aku telah bertahan”) , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
2. Eddy du Perron
Charles Edgar (Eddy) du Perron (lahir di Meester Cornelis, 2 November 1899 – meninggal di Bergen, 14 Mei 1940 pada umur 40 tahun) adalah sastrawan dan penulis esei Hindia-Belanda. Ia adalah kawan dari Ernest Douwes Dekker, tokoh pergerakan nasional Indonesia.
Karyanya yang terkenal adalah Het land van herkomst (1935 – Tanah Asal-usul) yang juga merupakan autobiografinya.
Eddy du Perron dilahirkan di Meester Cornelis (Jatinegara) dan adalah keturunan dari seorang Huguenot bernama Jean Roch du Perron yang pada abad ke-18 bermigrasi ke Nusantara sebagai pegawai VOC.
Darah Prancisnya ini pula yang selalu membuat dirinya “berbeda” dari kebanyakan orang Eropa-Indonesia di Hindia-Belanda. Garis politiknya amat simpatik kepada kegiatan nasionalisme Indonesia. Ia berteman dengan Sutan Syahrir dan kerap menyerang penulis yang anti-nasional di majalah Kritiek en Opbouw.
E. du Perron
Karya-karyanya yang lain adalah Multatuli, De man van Lebak (1937), Multatuli, tweede pledoi (1938), Van Kraspoekoel to Saidjah, serta sebuah bunga rampai karya sastra dari masa VOC, De muze van Jan Companie (1939).
Du Perron juga yang membantu Ernest Douwes Dekker menerbitkan buku cerita untuk anak-anak yang ditulisnya. Ia dikenal dekat dengan sastrawan Poedjangga Baroe, Suwarsih Djojopuspito. Pada 12 Agustus 1939 Eddy du Perron dan keluarganya bermigrasi ke Belanda, tempat yang menurutnya dirasakan selalu asing, sebagaimana pengakuannya kepada Syahrir. Eddie du Perron wafat di Belanda pada tahun 1940, beberapa hari setelah Jerman menyerang Belanda, karena serangan jantung.
3. Rob Nieuwenhuys
Rob Nieuwenhuys (lahir di Semarang, 30 Juni 1908 – meninggal di Amsterdam, 8 November 1999 pada umur 91 tahun) adalah seorang penulis berkebangsaan Belanda. Ayahnya adalah orang Belanda totok dan ibunya adalah Indo. Masa mudanya dihabiskan di Batavia (sekarang Jakarta), di mana ayahnya adalah manajer Hotel Des Indes (sekarang sudah tidak ada, tapi di atas reruntuhannya dibangun komplek pertokoan Duta Merlin).
Nieuwenhuys menempuh pendidikan sekolah lanjuta di Surabaya lalu belajar hukum dan sastra di Belanda.
Sekembalinya di Hindia-Belanda, ia menjadi guru di sejumlah kota di Jawa.
Selama pendudukan Jepang, ia menjadi tahanan perang. Pada bulan Desember 1945, ia kembali ke Belanda. 19 bulan kemudian, ia kembali ke Indonesia. Ia mengajar sastra di Universitas Indonesia. Pada bulan Juli 1952, ia kembali ke Belanda. Pada tahun 1957, ia menjadi salah satu pelopor gerakan sastra Tirade.
Antara tahun 1963-1973, ia menjadi kepala Divisi Dokumentasi Sejarah Indonesia di KITLV.
Minat utamanya adalah karya-karya sastra dan non-sastra yang terbit di Indonesia sebelum tahun 1900.
Ia pernah menyoroti karya-karya ahli bahasa seperti Van Eysinga (1796-1856), asisten residen Lebak Eduard Douwes Dekker (1820-1887), budayawan Batak dan Bali Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894), wartawan dan sastrawan roman Paulus Adrianus Daum (1850-1898) dan Georg Eberhard Rumphius (1627-1702).
4. Olaf Douwes Dekker
Olaf Douwes Dekker (lahir di Bandung, Jawa Barat, 23 Juli 1941; umur 70 tahun) adalah penyair dan wartawan Belanda. Kakek moyangnya yang ke-4, Jan, adalah saudara dari penulis Eduard Douwes Dekker, terkenal sebagai Multatuli. Wartawan, penulis, dan aktivis politik Ernest Douwes Dekker adalah saudara kakeknya. Douwes Dekker menjalani tahun-tahun pertama kehidupannya di kamp konsentrasi Jepang di Jawa. Setelah Perang Dunia II, ia tinggal bersama keluarganya di Surabaya, dan pada tahun 1947 kembali ke Belanda. Setelah lama bekerja di perusahaan film, teater, dan musik, hingga tahun 2006 ia aktif dalam kehidupan politik di Breda. Kemudian, pada tahun 1994 ia memutuskan menulis dan menerbitkan karya. Pada tahun tersebut pula puisi-puisinya diterbitkan dalam 4 bundel, majalah sastra dan antologi. Pada bulan Januari 2005, ia diusulkan sebagai penyair kota Breda selama 3 tahun. Di samping itu, ia terutama menulis puisi bebas berbentuk soneta dan puisi terkonsentrasi bergaya oriental.
5. Marion Bloem
Marion Bloem (lahir di Arnhem, 24 Agustus 1952; umur 58 tahun) adalah seorang penulis buku dan sutradara Belanda. Kedua orang tuanya berasal dari Indonesia dan mereka adalah orang Indo yang berhijrah ke Belanda pada tahun 1950. Ia sekolah HBS di Amersfoort. Lalu pada tahun 1971 ia berkuliah psikologi di Universitas Utrecht, di mana ia lulus pada tahun 1976. Semenjak tahun 1971 ia hidup bersama tanpa menikah dengan Ivan Wolffers, seorang penulis juga dan mereka dikaruniai satu putra.
1. Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli “aku telah bertahan”) , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
2. Eddy du Perron
Charles Edgar (Eddy) du Perron (lahir di Meester Cornelis, 2 November 1899 – meninggal di Bergen, 14 Mei 1940 pada umur 40 tahun) adalah sastrawan dan penulis esei Hindia-Belanda. Ia adalah kawan dari Ernest Douwes Dekker, tokoh pergerakan nasional Indonesia.
Karyanya yang terkenal adalah Het land van herkomst (1935 – Tanah Asal-usul) yang juga merupakan autobiografinya.
Eddy du Perron dilahirkan di Meester Cornelis (Jatinegara) dan adalah keturunan dari seorang Huguenot bernama Jean Roch du Perron yang pada abad ke-18 bermigrasi ke Nusantara sebagai pegawai VOC.
Darah Prancisnya ini pula yang selalu membuat dirinya “berbeda” dari kebanyakan orang Eropa-Indonesia di Hindia-Belanda. Garis politiknya amat simpatik kepada kegiatan nasionalisme Indonesia. Ia berteman dengan Sutan Syahrir dan kerap menyerang penulis yang anti-nasional di majalah Kritiek en Opbouw.
E. du Perron
Karya-karyanya yang lain adalah Multatuli, De man van Lebak (1937), Multatuli, tweede pledoi (1938), Van Kraspoekoel to Saidjah, serta sebuah bunga rampai karya sastra dari masa VOC, De muze van Jan Companie (1939).
Du Perron juga yang membantu Ernest Douwes Dekker menerbitkan buku cerita untuk anak-anak yang ditulisnya. Ia dikenal dekat dengan sastrawan Poedjangga Baroe, Suwarsih Djojopuspito. Pada 12 Agustus 1939 Eddy du Perron dan keluarganya bermigrasi ke Belanda, tempat yang menurutnya dirasakan selalu asing, sebagaimana pengakuannya kepada Syahrir. Eddie du Perron wafat di Belanda pada tahun 1940, beberapa hari setelah Jerman menyerang Belanda, karena serangan jantung.
3. Rob Nieuwenhuys
Rob Nieuwenhuys (lahir di Semarang, 30 Juni 1908 – meninggal di Amsterdam, 8 November 1999 pada umur 91 tahun) adalah seorang penulis berkebangsaan Belanda. Ayahnya adalah orang Belanda totok dan ibunya adalah Indo. Masa mudanya dihabiskan di Batavia (sekarang Jakarta), di mana ayahnya adalah manajer Hotel Des Indes (sekarang sudah tidak ada, tapi di atas reruntuhannya dibangun komplek pertokoan Duta Merlin).
Nieuwenhuys menempuh pendidikan sekolah lanjuta di Surabaya lalu belajar hukum dan sastra di Belanda.
Sekembalinya di Hindia-Belanda, ia menjadi guru di sejumlah kota di Jawa.
Selama pendudukan Jepang, ia menjadi tahanan perang. Pada bulan Desember 1945, ia kembali ke Belanda. 19 bulan kemudian, ia kembali ke Indonesia. Ia mengajar sastra di Universitas Indonesia. Pada bulan Juli 1952, ia kembali ke Belanda. Pada tahun 1957, ia menjadi salah satu pelopor gerakan sastra Tirade.
Antara tahun 1963-1973, ia menjadi kepala Divisi Dokumentasi Sejarah Indonesia di KITLV.
Minat utamanya adalah karya-karya sastra dan non-sastra yang terbit di Indonesia sebelum tahun 1900.
Ia pernah menyoroti karya-karya ahli bahasa seperti Van Eysinga (1796-1856), asisten residen Lebak Eduard Douwes Dekker (1820-1887), budayawan Batak dan Bali Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894), wartawan dan sastrawan roman Paulus Adrianus Daum (1850-1898) dan Georg Eberhard Rumphius (1627-1702).
4. Olaf Douwes Dekker
Olaf Douwes Dekker (lahir di Bandung, Jawa Barat, 23 Juli 1941; umur 70 tahun) adalah penyair dan wartawan Belanda. Kakek moyangnya yang ke-4, Jan, adalah saudara dari penulis Eduard Douwes Dekker, terkenal sebagai Multatuli. Wartawan, penulis, dan aktivis politik Ernest Douwes Dekker adalah saudara kakeknya. Douwes Dekker menjalani tahun-tahun pertama kehidupannya di kamp konsentrasi Jepang di Jawa. Setelah Perang Dunia II, ia tinggal bersama keluarganya di Surabaya, dan pada tahun 1947 kembali ke Belanda. Setelah lama bekerja di perusahaan film, teater, dan musik, hingga tahun 2006 ia aktif dalam kehidupan politik di Breda. Kemudian, pada tahun 1994 ia memutuskan menulis dan menerbitkan karya. Pada tahun tersebut pula puisi-puisinya diterbitkan dalam 4 bundel, majalah sastra dan antologi. Pada bulan Januari 2005, ia diusulkan sebagai penyair kota Breda selama 3 tahun. Di samping itu, ia terutama menulis puisi bebas berbentuk soneta dan puisi terkonsentrasi bergaya oriental.
5. Marion Bloem
Marion Bloem (lahir di Arnhem, 24 Agustus 1952; umur 58 tahun) adalah seorang penulis buku dan sutradara Belanda. Kedua orang tuanya berasal dari Indonesia dan mereka adalah orang Indo yang berhijrah ke Belanda pada tahun 1950. Ia sekolah HBS di Amersfoort. Lalu pada tahun 1971 ia berkuliah psikologi di Universitas Utrecht, di mana ia lulus pada tahun 1976. Semenjak tahun 1971 ia hidup bersama tanpa menikah dengan Ivan Wolffers, seorang penulis juga dan mereka dikaruniai satu putra.