Gambar Supriyadi Sang Panglima Peta yang dipublikasikan
lewat buku-buku akademis
Siapa yang tidak kenal dengan sosok pahlawan satu ini. Supriyadi adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, namun tidak pernah muncul untuk menempati jabatan tersebut.
Fakta sejarah yang lama terpendam kini terkuak kembali. Dia adalah
Supriyadi, tokoh muda pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar,
yang terjadi pada 14 Februari 1945 dulu.
Pada waktu itu,
Supriyadi anggota tentara PETA, sebuah pasukan tentara bentukan Jepang
yang beranggotakan orang-orang Indonesia. Karena kesewenangan dan
diskriminasi tentara Jepang terhadap tentara PETA dan rakyat Indonesia,
Supriyadi gundah. Ia lantas memberontak bersama sejumlah rekannya sesama
tentara PETA. Namun pemberontakannya tidak sukses. Pasukan pimpinan
Supriyadi dikalahkan oleh pasukan bentukan Jepang lainnya, yang disebut
Heiho.
Orang orang Indonesia yang misterius...!!!
Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya. Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap misterius hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Supriyadi hilang.
Namun yang membikin sosok Supriyadi semakin misterius adalah banyaknya kemunculan orang-orang yang mengaku sebagai Supriyadi. Salah satu yang cukup kontroversial adalah sebuah acara pembahasan buku ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno’, yang diadakan di Toko Buku Gramedia di Jalan Pandanaran Semarang. Dalam acara itu, seorang pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia sesungguhnya. Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan kini berusia 88 tahun. Namun sampai sekarang pengakuan tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya, meski secara perawakan dan sejumlah saksi membenarkan klaim tersebut.
Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya.
Namun tiba-tiba
Andaryoko Wisnu Prabu, 88, mengaku sebagai Supriyadi seperti yang dimaksud di atas. Dia membenarkan bahwa tentara Pembela Tanah Air (PETA) melakukan pemberontakan terhadap Jepang di Blitar. Karena kalah oleh tentara Jepang, Andaryoko dan pasukannya sembunyi di hutan selama 3 bulan.
Menurutnya pula, ada sekitar 200 pejuang PETA yang menyerang markas Jepang pada pukul 02.00 WIB, 14 Februari 1945. PETA melakukan pemberontakan karena tidak rela penduduk Indonesia diminta membungkuk-bungkuk pada Jepang dan dipukuli.
“Banyak yang mati dalam perang dadakan itu,” kata Andaryoko kepada The Jakarta Post dan detikcom di rumahnya di Jalan Mahesa Raya, Pedurungan, Semarang, Selasa (12/8/2008). Pejuang PETA kalah karena Jepang meminta bala bantuan dari Kediri, Malang, dan sekitarnya.
Akhirnya, pejuang PETA pun lari menyelamatkan diri dan mengungsi ke hutan mulai dari Blitar Selatan, Hutan Purwo, dan Ketonggo, Ngawi. Mereka bersembunyi hingga bulai Mei 1945.
Pada Mei 1945 itu, Andaryoko keluar hutan dan menemui Bung Karno di Jakarta. Pada saat bersamaan, Bung Karno ikut sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)..
“Saya diterima pengawal presiden. Bung Karno pada awalnya tidak percaya. Tapi setelah saya katakan,’Bung, Anda itu pemimpin. Kalau tidak mempercayai orang sendiri, saya harus percaya kepada siapa”, paparnya.
Akhirnya, Andaryoko diajak ke ruang belakang dan berbincang macam-macam. Saat itulah, dia berhubungan langsung dengan Bung Karno. Presiden pertama itu menyebut Andaryoko dengan panggilan `Sup` (Supriyadi).
Pada saat itulah Bung Karno berpesan kepada Andaryoko alias Supriyadi. “
Sup, kamu kan mengalami sendiri sejarah bangsa ini. Tolong kalau kamu diberi umur panjang, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui,” kata Andaryoko menirukan ucapan proklamator Kemerdekaan RI itu.
Sementara itu, terkait munculnya kembali kabar tentang keberadaan Supriyadi, Pemkab Blitar mengharapkan agar dilakukan penelitian dan pembuktian untuk memastikan kebenarannya.
Selama ini, keyakinan yang dipegang Pemkab Blitar adalah bahwa Supriyadi telah menghilang sejak meletusnya pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945 lalu. Dan, hingga kini tak ada yang mengetahui keberadaannya, juga kuburnya.
“Harus ada penelitian dari tim ahli untuk membuktikan kebenarannya,” kata Kabag Humas Pemkot Blitar, I Made Sukawardhana, Selasa (12/8).
Beberapa literatur sejarah juga belum ada yang memastikan bahwa Supriyadi masih hidup, termasuk memberi petunjuk tentang lokasi makamnya jika memang dia telah mati. “Kami menganggap ini (pengakuan Andaryoko) baru sebatas pengakuan, sehingga harus dibuktikan kebenarannya,” jelas Made
Andaryoko dan foto diri dikala muda
Pedang Samurai milik tentara Jepang yang ia bunuh
Andaryoko hadir saat Proklamasi dan Pengibaran Bendera Pusaka ?
======================================================
Pahlawan Supriadi Masih Hidup
Namanya Berganti Andaryoko, Usianya Sekarang 88 Tahun.
Sungguh Beliau Pahlawan Yang Hebat
Fakta sejarah yang lama terpendam kini terkuak kembali. Dia adalah Supriyadi, tokoh muda
pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar, yang terjadi pada 14 Februari 1945 dulu.
Pada waktu itu, Supriyadi anggota tentara PETA, sebuah pasukan tentara bentukan Jepang yang beranggotakan orang orang Indonesia. Karena kesewenangan dan diskriminasi tentara Jepang terhadap tentara PETA dan rakyat Indonesia, Supriyadi gundah. Ia lantas memberontak bersama sejumlah rekannya sesama tentara PETA. Namun pemberontakannya tidak sukses. Pasukan pimpinan Supriyadi dikalahkan oleh pasukan bentukan Jepang lainnya, yang disebut Heiho.
Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya.
Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap
misterius hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Supriyadi hilang.
Apakah benar demikian? Hilang ke mana?
Teka-teki itu mulai terkuak pada sebuah acara pembahasan buku ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno’, yang diadakan di Toko Buku Gramedia di Jalan Pandanaran Semarang 9 Agustus lalu. Dalam acara itu, seorang pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia sesungguhnya. Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan kini berusia 88 tahun.
Selain dari bukti foto, penuturannya yang gamblang tentang PETA dan perjuangan Indonesia pasca kemerdekaan, keaslian Andaryoko sebagai Supriyadi diperkuat oleh pengakuan sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, Dr Baskara Tulus Wardaya.
Dengan menggali aneka sumber dan ditambah aneka foto-foto pendukung serta wawancara dengan Andaryoko sendiri, Baskara tiba pada satu kesimpulan: Andaryoko adalah Supriyadi. Setelah menghilang, Supriyadi memang berganti nama menjadi Andaryoko.
Baskara berharap, publik memberi kesempatan bagi Andaryoko untuk menyampaikan narasi/penuturan sejarah perjuangan yang pernah ia jalani lewat tulisan, seperti dalam buku Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.
“Saya berjumpa beliau sekitar April 2008 dalam sebuah penelusuran sejarah. Saya ingin mencari pelaku-pelaku sejarah baru. Saya kemudian menemukan beliau dan wawancara. Belakangan beliau baru mengaku sebagai Supriyadi,” tutur Baskara saat dihubungi Surya, Selasa (12/8).
Dari interaksi dengan Andaryoko, Baskara mendapati sesuatu yang berbeda. Menurut dia, beberapa orang yang sebelumnya mengaku sebagai Supriyadi biasanya memiliki beberapa ciri. Di antaranya, selalu dikaitkan dengan mistis, hanya berpusat pada sosok dirinya, dan tidak bisa mengaitkan sejarah dengan perkembangan pasca kemerdekaan dan zaman kekinian.
“Tetapi Andaryoko ini, dia orangnya rasional dan spiritual. Dia bisa mengaitkan sejarah tempo dulu dan sekarang. Ia juga kritis terhadap situasi saat ini,” katanya.
Baskara mencontohkan, cerita Andaryoko mengenai peran pemuda menuju kemerdekaan yang sangat besar. Sebagai pelaku sejarah, Andaryoko menyebut, pemuda pada zaman itu sudah memiliki kesadaran politik yang kuat. Mereka sadar, pemberontakan yang akan mereka lakukan pada tentara Jepang saat itu pasti tidak ada gunanya karena kalah persenjataan.
“Tapi, toh itu tetap mereka lakukan, karena mereka sadar bahwa perjuangan perlu simbol. Mereka melakukan itu karena gundah melihat kekejaman tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia,” urai Baskara yang juga Kepala Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma Jogjakarta itu.
Andaryoko lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA, usianya ‘dituakan’ tiga tahun. “Sehingga ia mengikuti pendidikan tentara saat berusia 25 tahun. Jika dirunut sampai tahun 1945, maka pemberontakan yang dilakukannya wajar, karena usianya relatif muda,” ungkapnya.
Di rumah Andaryoko yang kini ia tinggali, juga tidak terdapat banyak peninggalan. Saat melarikan diri, sebut Baskara, ia hanya mengenakan satu baju tanpa membawa peralatan lain. “Ia hanya punya foto semasa muda waktu masuk PETA dan sebuah samurai asli tentara Jepang. Katanya, itu milik tentara yang dia bunuh,” ujarnya.
Sangat Mirip
Saat Andaryoko dikunjungi wartawan di rumahnya di Jl Mahesa No. 101, Pedurungan, Semarang, Selasa (12/ 8) kemarin, bukti-bukti yang menegaskan bahwa dia sebagai Supriyadi makin kuat.
Andaryoko antara lain menunjukkan foto dirinya saat masih muda. Dia kemudian membandingkan foto Supriyadi yang dipublikasikan di buku berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka yang diterbitkan Cipta Lamtorogung tahun 1985. Begitu dua foto itu disandingkan, memang sangat mirip.
Pertanyaannya, kenapa Andaryoko baru membuka jati dirinya?
Ada dua alasan mengapa dirinya baru buka-bukaan sekarang ini. Pertama, adanya dorongan dari banyak pihak agar dirinya segera membuka diri. Di masa lalu setelah pemberontakan PETA Blitar, dia sengaja menyamarkan diri agar tidak ditangkap tentara Jepang.
Alasan kedua, saat ini merupakan saat yang pas bagi Andaryoko untuk membuka diri ke publik. “Dulu Bung Karno pernah berpesan kepada saya begini, `Sup, kamu kan mengalami sendiri sejarah bangsa ini. Tolong kalau kamu diberi umur panjang, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui`. Dan sekarang inilah saatnya saya melaksanakan pesan Bung Karno, karena saya sudah berusia lanjut,” kata Andaryoko yang kemarin mengenakan baju warna cokelat.
Setelah menghilang ke hutan-hutan selama sekitar 3 bulan sejak pemberontakan di Blitar, kata Andaryoko, dirinya mulai keluar dan menemui Bung Karno. Sempat ragu bahwa yang datang adalah Supriyadi, Bung Karno kemudian mengajak berbicara cukup lama pada Mei 1945 itu. Akhirnya Bung Karno mengakui dan langsung menyapa Supriyadi dengan panggilan `Sup`.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Andaryoko mengaku sempat diminta Bung Karno untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Namun ia menolak.
Bung Karno kemudian meminta Supriyadi ke Semarang menemui Wakil Residen Semarang, Wongsonegoro. “Saya diterima menjadi staf kantor Residen Semarang . Nama saya diganti menjadi Andaryoko,” katanya.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, ia sangat kecewa ketika Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat hasil dari Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda. Di sana ada Uni Indonesia yang diketuai oleh Belanda. Itu artinya sama saja masih dijajah Belanda. Supriyadi pun kemudian menghilang.
Ia tidak bercerita apa saja yang ia kerjakan selama menghilang itu. Namun beberapa kali ia wira-wiri Semarang-Blora untuk keperluan meruwat (sebuah ritual tradisional penolak bala ala kepercayaan Jawa) selain untuk keperluan keluarga.
Baskara berpendapat, cerita Andaryoko boleh tidak dipercaya. Tapi, doktor sejarah lulusan Universitas Marquette, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) ini pun mempertanyakan mengapa pemerintahan Jepang kala itu tidak pernah mengumumkan kematian Supriyadi.
“Menjadi kebiasaan waktu itu, tentara republik yang menjadi pemberontak Jepang dan gagal, kalau mati pasti diumumkan. Itu untuk mematahkan semangat perjuangan tentara lainnya yang ingin berontak. Tapi kita ingat, sampai sekarang tidak pernah dikabarkan kapan ia mati dan di mana makamnya,” tegas Baskara.
Andai setelah kemunculan Andaryoko ini muncul pro dan kontra, Baskara melihatnya sebagai sesuatu yang positif. Ia mengajak keluarga Supriyadi yang ada di Blitar atau daerah lain serta para sejarawan ikut mendiskusikan masalah itu dalam kerangka akademis.
Andaryoko sendiri siap untuk dikonfrontir dengan keluarga Supriyadi untuk membuktikan kebenaran. “Ya silakan kalau mau (datang ke sini),” kata Andaryoko. Sejauh ini, tak ada orang yang datang ke rumahnya untuk meminta klarifikasi.
Termasuk pejabat dan tokoh-tokoh penting. Dia tidak pernah mengharap kedatangan dan tidak menolak kedatangan
mereka.
Selama tinggal di Semarang, Andaryoko berpindah-pindah tempat. Pada awalnya, dia tinggal di Jalan Majapahit. Dan terakhir, pada tahun 2001 hingga kini, dia menempati rumah di Pedurungan. Dilihat dari rumahnya, keluarga Andaryoko terbilang berkecukupan. Rumah bercat itu berdiri kokoh dan asri seolah siap menerima kedatangan siapa pun.
Andaryoko mempunyai empat anak, yakni Reni, Andarwanto, Akso, dan Wening. Wening saat ini bekerja di Departemen Luar Negeri.
sumber : surya online
======================================================
Pensiunan Karesidenan Semarang Mengaku Supriyadi
kompas.com - Andaryoko Wisnuprabu (89), seorang pensiunan sekretaris Karesidenan Semarang, Jawa Tengah mengaku dirinya adalah Supriyadi, mantan Menteri Keamanan Rakyat sekaligus Panglima Tentara Keamanan Rakyat tahun 1945.
Ketika ditemui di kediamannya di Pedurungan, Semarang, Selasa (12/8), Andaryoko mengungkapkan tidak khawatir jika publik tidak mempercayainya. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. "Kalau ada orang lain yang tidak setuju, silahkan saja, tetapi seharusnya mereka juga punya bukti, tidak asal omong saja, " ujarnya.
Andaryoko juga memperlihatkan beberapa bukti yang dimilikinya berupa foto dirinya yang mirip dengan foto yang tertera di buku-buku ilmu sejarah. Dalam foto itu, ia tidak berkumis. Ia juga menunjukkan foto dirinya dengan kumis yang tidak jauh berbeda dengan foto pertama. Kumis itu dimaksukan oleh Andaryoko untuk menyembunyikan identitas dirinya.
Bukti lain terkait identitas dirinya sebagai Supriyadi tidak dimiliki oleh Andaryoko. Ia mengatakan sengaja tidak menyimpan identitas aslinya agar tidak diketahui orang lain.
Andaryoko menyebutkan alasannya menyembunyikan identitas sebagai Supriyadi karena menganggap pascakekalahannya memimpin pemberontakan PETA tahun 1945, situasi tidak aman. "Dulu lebih tepatnya karena malu, kami waktu itu kalah karena kurang personil dan persenjataan. Sekarang, saya kira situasi sudah memungkinkan untuk menceritakan yang sebenarnya, jadi saya ungkap semuanya, " tuturnya.
Cucu Andaryoko, Bachtiar (30) menyebutkan, sebenarnya Andaryoko sudah mulai menceritakan perihal Supriyadi kepadanya sejak tahun 2003. Waktu itu saya masih belum percaya. "Mulai saat itu, saya selalu mengamati tingkah laku eyang dan kegiatan-kegiatannya. Sepertinya memang benar karena semuanya menguatkan. Eyang tahu persis kejadian dengan detail dan bisa menjelaskannya dengan baik, " katanya.
Bachtiar mengungkapkan, tidak ada yang berbeda setelah Andaryoko mengungkapkan identitasnya sebagai Supriyadi. Ia hanya mengingatkan eyangnya akan risiko yang akan ditanggung setelah pengungkapan ini.
======================================================
Adik Tiri Supriyadi Kesal Harus Selalu Cek
kompas.com - Pengakuan Andaryoko Wisnu Prabu bahwa dirinya adalah Supriyadi, pahlawan nasional asal Blitar yang dicatat sejarah menghilang, mendapat tentangan dari adik tiri Supriyadi, Utomo Darmadi. Utomo menyebut bahwa pengakuan Andaryoko itu sama sekali tidak benar. Utomo bahkan menyindir Andaryoko sebagai orang yang hanya mengejar sensasi.
"Dia itu ngaku-ngaku, nggak bener itu," ujar Ki Utomo darmadi kepada persdanetwork di Jakarta, Selasa (12/8). Dikatakan Utomo Darmadi, dirinya langsung tahu bahwa Andaryoko itu bukanlah Supriyadi saat melihat wajahnya di televisi. Menurut Utomo, kalaupun berubah dari orang muda ke tua, bentuk wajahnya tidak akan jauh berubah. Seperti telinganya.
"Tadi saya sepintas melihat di TV, lha liat gambarnya kelihatan memang bukan. Saya adiknya kan tahu rupanya Supriyadi," lanjut dia. Utomo menyebut bahwa ini bukan kali pertama ada orang yang mengaku-ngaku sebagai Supriyadi. Ia menyebut sudah puluhan kali ada kejadian serupa. Dan yang diakui Utomo membuat dirinya kesal karena dirinya yang selalu disuruh mengecek kebenaran dari orang yang mengaku-ngaku tersebut.
Ia mencontohkan, saat Try Soetrisno masih menjabat sebagai wakil presiden, dirinya mendapat surat dari Kolonel Wiguno dari AURI di Jogjakarta. Inti surat itu kata Utomo bahwa ditemukan Supriyadi di Lampung yang kemudian dibawa ke Jogjakarta. "Saya bilang ora bener. Saya lalu ke sana dan memang bukan. Itu sudah berapa puluh kali orang ngaku. Dan yah itu yang membuat kesel, saya disuruh menyaksikan yang gak bener," kenang Utomo.
Utomo menyebut adalah urusan pemerintah untuk menangani orang-orang yang menurutnya senang membikin sensasi seperti itu. Ia menegaskan bahwa sebagai pihak keluarga Supriyadi, dirinya tidak berniat melakukan tindakan apa-apa terhadap orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai kakaknya. "Itu urusan pemerintah. Mereka itu kan orang sekarng suka sensai, karena pelakunya sudah nggak ada," tambah dia.
Kalaupun nantinya Andaryoko tetap mengaku bahwa dirinya adalah Supriyadi, Utomo Darmadi mengaku siap dipertemukan langsung. Utomo menyebut bahwa dirinya sudah ditawari oleh sejarawan Baskara T Wardaya untuk bertemu langsung dengan Andaryoko. "Kalau seperti itu yah suruh saja hadap-hadapan sama saya. Yah saya adiknya masak nggak ngerti rupanya. Lha wong liat di TV memang bukan," sambung dia.
Lalu, bagaimana cara Utomo mengetes apakah Andaryoko adalah Supriyadi palsu atau benaran ? Utomo menyebut dulu ia pernah melakukan hal serupa dengan cara mengetes apakah yang bersangkutan bisa berbicara, mengenal istilah-istilah Belanda dan Jepang seperti Supriyadi. Namun, kata dia, itu tidak terlalu menjamin. Ia lebih percaya dengan penglihatan bentuk fisik langsung dari yang mengaku-ngaku Supriyadi tersebut. "Katanya bisa basa Jepang, coro Londo. Tapi kan dari gambarnya saya tahu itu gak bener," lanjut Utomo.
Utomo percaya bahwa secara logika, kakaknya itu memang sudah meninggal pada tahun 1945 silam. Namun, kata dia, adalah kepintaran dari pihak Jepang yang kemudian mengaburkan kematian Supriyadi dengan menyebut bahwa Supriyadi bisa ilmu menghilang. "Jepang pintar, ngerti kejiwaan orang jawa. Lalu crita bahwa Supriyadi iso ngilang. Lha opo bapakku kuwi gendruwo, duwe anak isa ngilang. Kita rasional saja lha," ujarnya.
Ia lalu mengisahkan, bahwa bapaknya dihukum di penjara Kediri. Kemudian, keluarganya, ibu, dirinya dan adik-adiknya ditahan di kertosono di rumah yang dijaga ketat dan tidak diperbolehkan keluar sampai proklamasi. "Kalo nggak ada proklamasi, September itu sudah ada rencana pembunuhan besar-besaran terhadap keluarga pemberontak itu," kenangnya.
Menurut Utomo, kalaupun sudah meninggal dan tidak ada makamnya, itu adalah hal yang wajar selama pendudukan zaman Jepang. "Saya beritahu, zaman jepang itu, orang mati yang gak ngerti makamnya gak pirang-pirang. Pahlawan nasional dr Muwardi, sampe sekarang makamnya ga ketahuan. Itu orang tanya begitu, itu nanya debat kusir," kata dia.
======================================================
Bagaimana awal mula pemberontakan Peta di Blitar?
Waktu itu menjelang Agustus 1945, ada 200 pasukan Peta. Kami kalah perang karena Jepang mendatangkan pasukan dari Kediri dan Malang. Kami kalah dari segi jumlah dan peralatan. Kami lari bercerai-berai. Jepang memburu. Jadi buronan saya menyelamat diri lari ke hutan. Mulai dari hutan Blitar Selatan,
hutan Ketonggo hingga hutan Purwo (wilayah Kabupaten Ngawi. Saya sadar tidak ada gunanya terus-menerus bersembunyi. Saya ke Jakarta menemui Bung Karno (Ir. Sukarno) sebagai tokoh yang dianggap sebagai pemimpin Indonesia .
Apa isi pertemuan dengan Bung Karno?
Semula Bung Karno tidak percaya. Saya kemudian menceritakan siapa saya dan isah hidup saya. Untuk meyakinkan saya hanya bilang, bila pemimpin besar seperti Bung Karno tidak mempercayai, saya patah arang. Silakan Bung Karno menyerahkan saya kepada Jepang. Jepang pasti akan menghukum mati saya. Mendengar itu Bung Karno jatuh iba, dan akhirnya percaya.
Bung Karno bicara apa lagi?
Bung Karno menyarankan saya ke Semarang untuk menghadap Wakil Residen Semarang, Wongsonegoro.
Wongsonegoro tahu kalau Anda buronan Jepang?
Tahu. Ia meminta saya mengganti nama. Ia memberikan jabatan staf di antor residen. Hanya dia yang berhak memerintah saya. Bahkan Pak Wongsonegoro itu meminta saya selalu melaporkan kegiatan perjuangan demi kemerdekaan kepadanya. Semua itu juga menyangkut keselamatan dia. Bila kedok saya terbongkar, ia pasti terseret asalah karena menyembunyikan buronan Jepang. Kala itu residen dijabat orang Jepang.
Siapa nama baru Anda saat itu?
Andaryoko. Ketika Saya menggeluti aliran kepercayaan, saya tambahi nama saya menjadi Andaryoko Wisnu Prabu.
Setelah di Semarang, apa Anda bertemu lagi dengan Bung Karno?
Saya kembali ke Jakarta. Saya yang membawakan tas Bung Karno ada sidang Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Ketika Jepang dibom oleh tentara sekutu, saya bersama para pemuda menganggap ini kesempatan untuk merdeka. Kami meminta para pemimpin senior seperti Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan.
Tapi tokoh tua belum mau. Para pemuda seperti saya, B.M. Diah, Sukarni, Sayuti Melik, Melok, dan beberapa nama lainnya tidak sabar.
Kami tetap berusaha mengajak para tokoh tua untuk membulatkan tekad merancang proklamasi kemederkaan di desa Rengas Dengklok.
Tempatnya sepi, dengan harapan Jepang tidak tahu. Saya dan beberapa teman bertugas menjemput dan membawa Bung Karno pada 16 Agustus 1945 petang.
Pertemuan berjalan alot, hingga pukul sebelas malam terjadi kebulatan tekad.
Pada 17 Agustus 1945 Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan.
Awalnya proklamasi akan dilaksanakan di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Daerah) Jakarta. Mengingat keamanan, kemudian tempatnya diubah di halaman rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta .
Sebelumnya, Bung Karno menulis naksah proklamasi dengan tulisan tangan
dan ada coretan. Ia menyerahkan naskah itu kepada para pemuda pejuang untuk dibaca dan diketik. Sayuti Melik mengetik. Namun, yang dibaca oleh
Bung Karno tetap kertas tulisan tangan yang sempat dibuang kemudian
ditemukan kembali dan diseterika agar bisa terbaca lagi. Waktu itu hanya
sekitar 20 orang yang hadir. Kami para pemuda menjemput tokoh-tokoh
tua untuk menghadiri proklamasi itu.
Setelah teks proklamasi dibacakan, apa yang terjadi?
Dua bulan kemudian pemerintahan baru Republik Indonesia membentuk
kabinet. Saya ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun ketika
terjadi Konferensi Meja Bundar yang ditandatangi pada 27 Desember 1949
yang digelar di Den Haag Belanda yang hasilnya Indonesia menjadi
negara serikat (Republik Indonesia Serikat). Saya kecewa, karena di mana
ada Ketua Uni Indonesia yang diketuai Ratu Wilhelmina. Itu
artinya kita dijajah lagi. Semua urusan luar negeri Belanda yang menangani.
Saya akhirnya minta mundur dari jabatan menteri. Lalu Saya
kembali ke Semarang dan menjadi staf di Karesidenan Semarang lagi.
Wawancara disudahi karena Andaryoko pamit ke luar kota.
Salah satu cucunya mengatakan, eyangnya ke Blora untuk menyepi
(menyendiri) menghindari publikasi. Pada 16 Agustus nanti, bekas pejuang
Supriyadi akan menghadiri bedah buku "Kesaksian Supriyadi" di sebuah
toko buku di Yogyakarta.
tempo.com
======================================================
Misteri Supriyadi PETA Versi Ronomejo Hingga Nakajima
Teguh Budi Santoso - detikNews
Cerita soal pahlawan PETA, Supriyadi dari Blitar memang berkembang sejak dulu dalam berbagai versi. Wacana yang juga memicu kontroversi justru dikembangkan oleh Departemen Sosial. Tahun 1978, Depsos mengeluarkan serial buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan. Pada bagian seri tentang Pemberontakan PETA Blitar dikutip beberapa kesaksian tentang masih hidupnya Supriyadi, setidaknya sampai setelah pecahnya pemberontakan PETA Blitar.
Harjosemiarso, Kepala Desa Sumberagung pada jaman penjajahan Jepang, beberapa saat setelah pecahnya pemberontakan Blitar Februar1 1945 mengaku pernah menyembunyikan Supriyadi di rumahnya selama beberapa hari.
Ronomejo, Kamituwo Desa Ngliman, Nganjuk mengaku pernah ikut menyembunyikan Supriyadi di gua di sekitar Air Terjun Sedudo. Ia bahkan pernah mengantar Darmadi, ayahanda Supriyadi datang ke tempat persembunyian.
Seorang Jepang mantan pelatih Supriyadi di Seinendojo, Tangerang, Nakajima pada Maret 1945 mengaku pernah didatangi Supriyadi saat bertugas di Salatiga. Ia sempat menyembunyikan Supriyadi beberapa hari sampai akhirnya Supriyadi pamit akan menuju Bayah, Banten Selatan (Tempat sembunyi yang sama dengan Tan Malaka).
H Mukandar, tokoh masyarakat di Bayah, Banten mengaku pada bulan Juli 1945, dirinya pernah merawat seseorang yang terkena disentri. Pria itu mengaku bernama Supriyadi. Sayang jiwa si pria malang tak terselamatkan. Ia pun dikuburkan di Bayah. Ketika ditunjukkan foto para kadet Seinandojo PETA di Tangerang, dengan tepat Mukandar menunjuk pada foto Supriyadi.
Tak cuma Depsos, Dinas Sejarah TNI AD sendiri tak menutup pintu kemungkinan Supriyadi tak ikut wafat dalam pemberontakan Blitar. Majalah Vidya Yudha No 12/III/1971 memuat tulisan Mayor Soebardjo yang mengatakan bahwa ia mendengar dari Letnan Sasmita kalau Supriyadi tewas di Gunung Wilis menjelang datangnya kemerdekaan. Satu regu tentara Jepang menembaknya ketika ia tengah mereguk air minum.
Masih banyak lagi wacana-wacana soal sang pahlawan PETA Supriyadi. Saling silang kabar yang ada dimungkinkan karena memang hingga kini jasad Supriyadi tak pernah diketemukan. Pemerintah sendiri ‘terlanjur’ mensosialisasikan namanya sebagai sosok pahlawan. Tindakan Soekarno-Hatta yang mencantumkannya sebagai panglima tentara adalah bukti dari pengakuan tersebut.
Namun, tak semua orang menganggap Supriyadi sebagai pahlawan. Beberapa mantan anak buahnya di PETA justru melihatnya sebagai sosok pengecut. Ketika para perwira PETA yang lain (Muradi, Supardjono, Suryo Ismangil, Halir Mangkudijaya, Soedarmo, Soenanto) harus bertanggungjawab dengan merelakan kepalanya untuk dipenggal di Ancol demi pasang depan menyelamatkan nyawa anak buahnya, Supriyadi malah lari.
Mungkin ini membuat orang terlalu skeptis, namun apa pun dalih yang diungkapkan Supriyadi (Andaryoko?) nanti - jika benar ia adalah Supriyadi - takkan bisa menghapus ‘kesalahannya’ membiarkan 63 tahun lamanya publik terperdaya epos kepahlawanannya atau mungkin secara pribadi lebih penting bagi Supriyadi sendiri, perasaan terluka para mantan anak buah yang merasa ditinggalkannya begitu saja.
======================================================
Benarkah Pahlawan PETA Supriyadi Sudah Gugur?
Kilasberita.com
Semarang, Siapa tak kenal Supriyadi. Tokoh pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) melawan tentara Dai Nippon. Namun pasca pemberontakan itu, Supriyadi menghilang bahkan dikabarkan gugur. Benarkah?
Semua teka-teki tentang tokoh besar ini baru terjawab pada Sabtu 8 Agustus lalu. Pejuang kemerdekaan itu muncul dalam sebuah acara peluncuran buku di Toko Buku Gramedia Semarang, Jl Pandanaran. Buku yang dibedah juga terkait dirinya, yakni 'Mencari Supriyadi, Kesaksian Pengawal Utama Presiden'. Sosok Supriyadi benar-benar datang dalam acara yang dihadiri sekitar 60 orang tersebut. Bertindak sebagai pembicara adalah sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T. Wardaya.
Supriyadi sempat diwawancarai wartawan Jerman. Dia mengaku dirinya tidak mati atau hilang. Usianya sudah sangat lanjut, yakni sekitar 89 tahun.
"Dia kurus. Namanya bukan Supriyadi, tapi Andaryoko Wisnuprabu. Tapi dalam wawancara itu, dia mengaku sebagai Supriyadi," kata salah satu pengunjung diskusi, Isti (28).
Isti yang tinggal di Kawasan Timur Semarang itu menambahkan, banyak orang tidak tahu Supriyadi akan hadir di acara itu. Sebab, acara yang digembor-gemborkan justru bertajuk "Mereka Menodong Bung Karno" dengan pembicara mantan Pengawal Soekarno, Soekardjo Wilardjito.
Untuk menghindari penangkapan oleh tentara Jepang, pejuang Pembela Tanah Air (PETA), Supriyadi, mengganti nama. Selain itu, dia juga memelihara kumis.
Saat bertemu Bung Karno di Pegangsaan Timur No 56, Supriyadi diminta pergi ke Semarang. Dia harus menemui Wakil Residen Semarang, Wongsonegoro.
"Saya diterima menjadi staf Kantor Residen Semarang. Nama saya diganti menjadi Andaryoko," kata Supriyadi sebagaimana ditirukan salah satu pengunjung bedah buku di Toko Buku Gramedia Semarang, Jalan Pandanaran, Isti (28), Senin (11/8/2008).
Sejak memulai hidup di Semarang, Supriyadi memelihara kumis. Meski punya nama baru, di Jakarta, dia tetap dikenal sebagai Supriyadi.
Supriyadi tidak sempat menceritakan liku-liku hidupnya selama di Semarang. Dia hanya menyebutkan hal-hal penting terkait sejarah negara Indonesia.
======================================================Andaryoko Anggota PETA, Tetapi Bukan Supriyadi
KOMPAS/TRI AGUNG KRISTANTO
Dr Asvi Warman Adam, ahli sejarah (sejarawan) dan peneliti LIPI
kompas.com
PENGAKUAN mengejutkan muncul dari Semarang, Selasa (12/8). Andaryoko Wisnu Prabu, 89 mengaku sebagai Supriyadi, pejuang PETA yang juga pahlawan nasional yang ditulis sejarah menghilang. Benarkah dia adalah Supriyadi? Berikut wawancara persdanetwork dengan sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam terkait pengakuan Andaryoko Wisnu Warman Adam.
Sebagai sejarawan, bagaimana komentar Anda soal pengakuan Andaryoko bahwa dirinya adalah Supriyadi ?
Sebetulnya bukan satu kali ini ada orang yang mengaku Supriyadi. Paling tidak sudah lebih dari lima kali ada orang yang mengaku Supriyadi. Dalam hal ini ada dua hal, ada supply-demand. Maksud saya, dalam situasi kritis, orang butuh apa yang disebut dengan ratu adil. Misal dengan adanya tokoh yang dianggap menyelesakan persoalan, apakah pahlawan yang hilang. Nah di tengah kebutuhan masyarakat itu, ada Andaryoko yang di Semarang cukup lama dikenal sebagai budayawan, yang tahu banyak tentang peristiwa Blitar, yang ternyata tahu banyak tentang Supriyadi, yang akhirnya dipercaya sebagai Supriyadi.
Apakah Anda berpikir dia Supriyadi atau bukan ?
Saya lebih meyakini dia sebagai anggota PETA yang kemudian bekerja di Semarang di bidang pemerintahan dan mendapat kedudukan yang cukup lumayan, dan dia orangnya cerdas dan sehat, sehingga sampai sekarang masih umur panjang. Sebagai seorang anggota PETA yang ada di Blitar, dia tahu segala kegiatan PETA di Blitar. Tapi mungkin bukan Supriyadi, karena anggota PETA yang ada waktu itu kan ratusan.
Bagaimana caranya untuk membuktikan kebenaran yang bersangkutan Supriyadi atau bukan ?
Waktu Try Soetrisno jadi Wakil Presiden itu ada orang di Jogja ngaku sebagia Supriyadi. Kemudian Pak Try meminta Utomo Darmadi adik tiri Supriyadi untuk datang ke Jogja, dan mengecek dua hal. Pertama ngajak ngomong Belanda dan orang itu gak ngerti. Kemudian dia mencoba menanyakan sesuatu dalam bahasa populer jepang, orang itu gak bisa nangkap. Supriyadi itu sekolah MULO dan STOVIA, jadi bahasa Belanda lumayan, juga latihan jepang, Jadi banyak menguasai istilah-istilah Jepang, tapi orang itu dua-duanya nggak bisa.
Bagaimana dengan Andaryoko ?
Ini kan orangnya sudah sangat tua. Tetapi dalam percakapan dengan Baskara Wardaya dia sama sekali tidak pernah mengucap istilah bahasa Belanda satupun. Padahal orang yang berusia 70-80 seperti ibu SK trimurti, itu pasti keluar istilah Belanda karena pernah sekolah, pasti masih lengket. Ini kan cuma jawa saja
Cara lain ?
Bisa melalui keterangan-keterangan dia. Kita bisa mempercayai tokoh sejarah berdasarkan keterangan/pengetahuan yang dia sampaikan. Kalau informasi itu keliru kita bisa meragukan integritas dia.
Lalu, bagaimana dengan Andaryoko ?
Hampir banyak sekali dari informasi yang dia sampaikan itu tidak cocok dengan fakta historis.
Misalnya?
Misalnya dia menyatakan 17 agustus dia hadir waktu upacara penaikan bendera, dan bahkan ia ikut mengerek bendera. Padahal secara historis yang mengerek bendera itu adalah Latif Hendradiningrat, yang dibantu seorang anak kecil berpakaian celana pendek. Dia juga menyatakan sidang BPUPKI dia ikut membawakan tas Bung Karno, jadi apakah betul BK untuk ikut sidang itu bawa tas atau bagaimana.
Lainnya ?
Dia menyatakan sidang-sidang untuk menetapkan UUD 45 di gedung juang yang sekarang. Sebetulnya itu keliru juga karena sidang itu di gedung Pantjasila yang sekarang berada di dalam kompleks Deplu Pejambon. Dan yang menurut saya yang sangat aneh, dia tahun 45 menolak untuk ikut dalam pemerintahan karena dia meramalkan dalam 20 tahun lagi akan ada huru-hara di Indonesia dan ketika itu orang yang dukung Bung Karno akan tersingkir. Dia milih di luar pemerintahan. Menurut saya itu klenik, mistis, karena CIA saja tidak bisa meramalkan dengan tepat. Kemudian dia juga hadir di dalam Supersemar diserahkan di istana bogor, jadi banyak sekali kebetulan yang menimbulkan tanda tanya. Pengakuan Andaryoko dipertanyakan karena dia itu hadir di mana-mana. Dia itu tokoh mistis yang bisa meramal kejadian pada 20 tahun yang akan datang.
Lalu, bagaimana jika dia memang benar Supriyadi ?
Persoalannya, pahlawan nasional selama ini diusulkan oleh Depsos itu adalah orang yang sudah meninggal. Karena kalo belum meninggal diangkat jadi pahlawan, dan lalu dia melakukan hal tidak terpuji, itu akan sangat memalukan bangsa. Kalau Supriyadi sudah dinyatakan Pahlawan Nasional, dan ternyata ada orang masih hidup, apakah gelar kepahlawanan itu akan dicabut atau dicancell, menunggu sampai dia meninggal baru dikembalikan gelarnya, jadi agak repot juga. Karena selama ini, dia dinyatakan hilang meninggal.
Apa selama ini sudah ada upaya untuk mengecek Supriyadi memang sudah meninggal ?
Pemerintah juga melakukan upaya penggalian sebelum diangkat pehlawan. Dicari keterangan bahwa ada seorang haji di Banten yang menguburkan Supriyadi, ditunjukkan foto Supriyadi, dan pak haji di Banten itu tahu. Lalu kemudian ditemukan kerangka yang ternyata oleh adik tirinya dikatakan bukan punya ciri-ciri Supriyadi.
======================================================Pemerintah Blitar Akan Pertontonkan Pemberontakan PETA di Blitar
TEMPO Interaktif, Surabaya:Untuk membuktikan pengakuan Andaryoko Wisnu Prabu, warga Semarang yang mengaku sebagai Supriyadi, Pemerintah Kota Blitar akan mempertontonkan drama kolosal yang tiap tahun dipentaskan di Blitar tiap tanggal 14 Pebruari. Hal itu perlu dilakukan karena tiap tahun para veteran PETA (Pembela Tanah Air) dari seluruh penjuru Indonesia berkumpul di Blitar sambil melihat drama kolosal pemberontakan PETA.
"Kami siap mementaskan drama kolosal pemberontakan PETA untuk Pak Andaryoko dan mempertemukannya dengan para pejuang PETA," kata Walikota Blitar, Djarot Syaiful Hidayat kepada Tempo melalui telepon selulernya, Kamis (14/8).
Pertemuan dengan para pelaku pemberontakan PETA itu akan menjadi kesaksian otentik, apakah Andaryoko benar-benar Supriyadi atau hanya karangan cerita isapan jempol semata. Meskipun peristiwa itu telah terjadi 63 tahun silam, namun pasti ada hal-hal khusus yang bisa mengingatkan atau membuka kambali memori seseorang atas peritiwa itu.
"Jika ternyata para veteran PETA sama sekali tidak kenal dengan Andaryoko, berarti pengakuannya sebagai Supriyadi tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Djarot.
Sebelum dilakukan pertemuan antara Andaryoko dengan para relawan PETA dan keluarga Supriyadi di Blitar, Walikota Blitar meminta semua pihak tidak menjatuhkan vonis apapun kepada Andaryoko. "Biar dibuktikan dulu melalui uji sejarah yang berlandaskan analisis histori yang benar. Siapa tahu memang beliau adalah Supriyadi yang sesungguhnya," kata Walikota Djarot.
======================================================
Sejarah Supriyadi Dibelokkan Rezim Orde Baru
TEMPO Interaktif, Jakarta
Bahtiar Setyo Wicaksono, salah satu cucu Andaryoko Wisnu Prabu, mengungkapkan siapa sejatinya kakek 88 tahun yang mengaku sebagai Supriyadi, pejuang Peta di Blitar, Jawa Timur. Bahtiar adalah cucu Andaryoko yang tinggal serumah dan selalu menyertai kakeknya ke manapun pergi. Berikut wawancara Sohirin dari Tempo dengan pria 33 tahun tersebut.
Sejak kapan Andaryoko mengungkapkan dirinya seorang Supriyadi?
Sejak 2003, eyang mengumpulkan anak cucunya. Saat itu Senin Pahing di rumah eyang. Eyang memang suka bercerita tentang zaman revolusi.
Keluarga langsung percaya?
Tidak. Bahkan menganggap eyang bergurau. Tapi dari beberapa kesempatan, eyang terus meyakinkan kami.
Apa yang kemudian membuat keluarga menjadi percaya?
Suatu ketika eyang mengajak saya membuktikan bahwa dirinya Supriyadi, yaitu datang ke museum Supriyadi di Blitar. Di sana eyang mengatakan bahwa foto Supriyadi yang dipasang di museum bukan foto asli. Tapi memang sangat mirip dengan foto eyang.
Saya juga diajak menemui perempuan tua di Sragen. Menurut eyang perempuan tersebut adalah Sarinah, mantan pembantu Bung Karno. Ibu Sarinah sudah pikun. Kemudian saya diajak menemui Letnan Jenderal Marinir Chaerul Fathullah, mantan ajudan Bung Karno, yang tinggal di Kroya, Cilacap. Usia Pak Chaerul 115 tahun, tapi belum pikun.
Pak Chaerul memanggil eyang dengan sapaan Dik Sup. Pak Chaerul bercerita saat Bung Karno dan beberapa tokoh kemerdekaan berkumpul di Rengas Dengklok, datanglah beberapa serdadu Jepang. Saat itu Pak Chaerul sudah menyiapkan senjata untuk menembak serdadu Jepang. Kata Pak Chaerul: Untung Dik Sup mengingatkan saya, sehingga saya tidak jadi menembak.
Suatu hari Pak Baskara (pengarang buku Kesaksian Supriyadi) mempertemukan eyang dengan Sukarjo Wilarjito (mantan pembantu Bung Karno) pengarang buku "Mereka Menodong Bung Karno". Pak Baskara bertanya kepada Pak Wilarjito apakah kenal dengan Andaryoko. Pak Wilarjito berkata, "Siapa ya.. kok wajahnya tidak asing...Oh, Kang Sup ya...". Pak Wilarjito memanggil eyang dengan sapaan Kang Sup.
Ada bukti lain yang makin menyakinkan keluarga?
Dengan data dan peristiwa tersebut, saya dan keluarga sangat yakin. Sebetulnya eyang masih mempunyai satu saksi kunci yang masih hidup, tapi kata eyang, belum saatnya disebutkan sekarang.
Siapa saksi kunci tersebut?
Eyang eyang masih merahasiakannya, tapi dia adalah bekas anak buah eyang di pasukan Peta.
Sebelumnya sudah ada yang mengaku sebagai Supriyadi?
Awalnya kami juga mengingatkan eyang, jangan mengaku-ngaku. Tapi eyang terus membuktikan dirinya Supriyadi. Eyang mengatakan bahwa semua itu palsu. Bahkan pernah bilang suatu saat yang asli akan muncul betulan.
Pengakuannya sebagai Supriyadi menimbulkan polemik?
Sadar dengan sesadar-sadarnya. Tapi eyang selalu bilang bahwa hal ini dilakukan untuk meluruskan sejarah bangsa. Orang lain mau percaya atau tidak, tidak peduli. Yang penting tugas meluruskan sejarah sebagaimana yang diamanatkan Bung Karno sudah dilaksanakan. Eyang juga tidak mau diangkat sebagai pahlawan.
Kenapa baru diceriterakan sekarang?
Setiap kali saya menanyakan itu, saya selalu dimarahi. Eyang balik bertanya: Kamu itu goblok atau memang tidak tahu?. Beliau menyelamatkan diri dari kejaran Jepang, bersembunyi di hutan hingga beberapa bulan. Lalu menemui Bung Karno untuk minta petunjuk. Bung Karno menyarankan, suatu saat eyang harus menceritakan sejarah yang sebenarnya. Bung Karno dilengserkan Soeharto. Kalau mengaku saat Soeharto masih hidup, pasti akan ditahan.
Artinya sejarah Supriyadi sengaja dibelokkan seolah-olah sudah meninggal?
Kata eyang sengaja dibelokkan oleh rezim Orde Baru.
Bagaimana dengan pengakuan Ki Oetomo (adik tiri Supriyadi) yang menyatakan bahwa Supriyadi sudah meninggal?
Eyang siap untuk diverifikasi dan ditemukan dengan orang yang mengaku keluarga Supriyadi.
======================================================