Pencuri seekor kambing seharga Rp.600.000 (enam ratus ribu rupiah) dengan sengaja tanpa ada unsur keterpaksaan sudah bisa dipotong tangan, sesuai dengan nishab Madzhab Syafi'i berdasarkan kurs dinar saat ini. Lalu bagaimana dengan koruptor ratusan juta bahkan milyaran hingga trilyunan rupiah ?!
Kebanyakan pencuri berasal dari kalangan orang miskin tak mampu, sedang kebanyakan koruptor berasal dari kalangan orang kaya yang mampu. Kebanyakan pencuri berasal dari kalangan wong cilik yang serba kekurangan, sedang kebanyakan koruptor berasal dari kalangan pegawai negeri mau pun swasta yang berkecukupan. Kebanyakan pencuri berasal dari kalangan rakyat jelata, sedang kebanyakan koruptor berasal dari kalangan pejabat berkuasa.
Kebanyakan pencurian bersifat individual, artinya para pelaku terbatas kepada pribadi orang per orang atau kelompoknya masing-masing, sedang kebanyakan korupsi bersifat struktural yaitu melibatkan kalangan atas hingga ke bawah secara hirarki kepemimpinan, bahkan melebar kesamping sesuai sayap kemitraan. Kebanyakan pencurian hanya berdampak mikro kepada korbannya saja, sedang kebanyakan korupsi berdampak makro yang merugikan berbagai pihak. Kebanyakan pencurian hanya memiliki efek domino yang pendek dan sempit, sedang kebanyakan korupsi memiliki efek domino yang panjang dan meluas.
Dengan demikian, tidak diragukan bahwasanya korupsi lebih jahat dan lebih berbahaya dari pada pencurian, apalagi korupsi yang mencapai ratusan juta hingga milyaran bahkan trilyunan rupiah. Karenanya, koruptor harus dikenakan sanksi hukum yang berat, sekurangnya sama dengan hukum pencuri yaitu potong tangan, dan bagi tindak pidana korupsi besar dan sangat membahayakan harus dihukum mati.
Namun ironisnya, dengan dalih penegakan hukum, nenek tua tak berdaya yang mengambil dua butir buah coklat dan petani miskin yang mengambil sebuah semangka, harus menghadapi proses hukum yang berliku dengan tuduhan sebagai "pencuri". Sementara ada koruptor yang dengan bebas tak terjerat hukum. Ada pun koruptor yang ditahan, ada yang bisa buat istana dalam penjara dan ada pula yang bisa jalan-jalan ke Bali menonton tenis. Parahnya, koruptor mendapat remisi masa tahanan, sehingga lahir anekdot : Di Arab koruptor dipotong tangan. Di China koruptor dipotong kepala. Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan. Fantastisnya, ada koruptor "Kakap" dikejar hingga ke Kolumbia, melintasi empat benua : Asia, Eropa, Afrika dan Amerika, namun menjijikkannya banyak koruptor lain setingkat "Hiu" dan "Paus" lari ke negeri jiran tidak ditangkap. Kenapa ???
Korupsi di Indonesia ibarat penyakit "koreng" di sekujur tubuh akibat darah yang kotor, sehingga kalau pun koreng tersebut diobati satu per satu sedang darah kotornya tetap dibiarkan, maka "satu koreng sembuh, seribu koreng tumbuh". Karenanya, disamping setiap koreng diobati, maka darah kotornya pun harus diganti dengan darah bersih, sehingga terwujud penyembuhan menyeluruh. Artinya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dimulai dengan pembersihan dan pembenahan sistemnya.
Dalam sistem demokrasi Indonesia, suara rakyat dan suara partai serta suara anggota dewan bisa diperjual-belikan. Undang-Undang jadi pesanan. Peraturan jadi objekan. Siapa punya uang jadi pemenang. Tradisi rakyat pun berubah dari "membela yang benar" menjadi "membela yang bayar". Dari mulai pencalonan kepala kampung hingga kepala daerah bahkan sampai kepala negara, semuanya uang yang berperan. Partai dan kelompok pendukung beramai-ramai menikmati "sogokan" dengan istilah "gizi", "tali penyambung", "modal juang", "ongkos sosialisasi", "biaya akomodasi" dan ada juga yang menyebutnya sebagai "pampasan perang". Belum lagi MoU bagi-bagi "kue kekuasaan" antar partai pendukung, yang di kemudian hari pos-pos kekuasaan yang didapatkannya menjadi "Kas Khusus" untuk membesarkan partainya masing-masing.
Para konglomerat pun tidak mau ketinggalan berlomba menanam saham dalam pencalonan dan pemilihan tersebut, dengan "ikatan janji" mendapatkan aneka proyek bisnis dengan omset milyaran setelah kemenangan. Berbagai keserakahan mengelilingi perebutan kekuasaan, dan berbagai kerakusan siap menerkam rakyat saat pesta kemenangan. Hari kemenangan berarti hari hitung-hitungan biaya pemasukan dan pengeluaran, serta hari pengaturan strategi untuk mengembalikan modal sekaligus mengais keuntungan. Hal semacam ini juga terjadi di hampir seluruh sektor pekerjaan, mau jadi pegawai, ingin naik pangkat dan jabatan, minta penempatan yang basah, dan yang sejenisnya. Semuanya harus ada "uang pelicin". Ini namanya sistem korup !
Sistem Korup di Indonesia pada mulanya lahir dari Korupsi Sistem. Amanat konstitusi Indonesia sejak awal berdirinya NKRI telah menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Musyawarah sebagaimana tertera dalam Pancasila sila keempat, bukan Negara Demokrasi, apalagi Negara Liberal. Namun kenyataannya, kini tangan-tangan kotor demokrasi mencengkeram dan mengotori sendi-sendi Musyawarah Mufakat, bahkan kuku-kuku tajam Neolib ditancapkan di semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini namanya Korupsi Sistem !
REVOLUSI SISTEM ATAU REVOLUSI RAKYAT
Melihat kondisi semacam itu, rakyat pun muak, kecewa dan putus asa, sehingga kepercayaan kepada penegakan hukum mau pun pemerintah runtuh sudah. Akhirnya berbagai simbol negara dilecehkan, Pancasila dipelesetkan menjadi Pancagila, UUD dipelesetkan menjadi Ujung-Ujungnya Duit, KUHP dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, DPR dipelesetkan menjadi Dewan Penggarongan Rakyat, Sistem Presidensial dipelesetkan menjadi Presiden Sial, KPK dipelesetkan menjadi Komisi Perlindungan Koruptor, PTIK dipelesetkan menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan, dan lain sebagainya. sungguh sangat memprihatinkan.
Di Inggris saat ini, peningkatan pengangguran telah menimbulkan huru-hara di berbagai kota besar, termasuk ibu kota London. Padahal, masyarakat Inggris secara umum terpelajar dan berpenghasilan. Lalu bagaimana di Indonesia, yang masyarakatnya sudah terpuruk dalam kondisi yang sangat parah, bukan lagi peningkatan pengangguran yang terjadi, bahkan peningkatan kemelaratan yang naik tajam. Pada tahun 1998, kondisi macam ini telah mengantarkan kepada huru-hara nasional yang melahirkan reformasi. Dan kini, reformasi telah berubah menjadi "repotnasi". Lalu akankah repotnasi melahirkan revolusi sosial ? Bisa jadi, karena indikasinya setiap hari sudah tampak, yaitu adanya peristiwa huru-hara lokal di berbagai daerah, seperti pembakaran kantor kelurahan dan kecamatan karena penyelewengan distribusi raskin (beras orang miskin), atau penghancuran kantor DPRD, Gubernur dan KPUD karena kecurangan dalam Pilkada, atau bentrok pedagang kaki lima dengan aparat karena penggusuran tempat usaha, dan lain sebagainya.
Itu semua adalah revolusi lokal, yang jika dibiarkan akan terus bergulir bagai bola salju, sehingga akhirnya bisa berubah menjadi revolusi sosial secara nasional. Karenanya, untuk mencegah terjadinya revolusi sosial, maka harus segera dilakukan revolusi sistem. Sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia harus bersih dari korupsi sistem, sehingga tidak menjadi sistem yang korup.
Sesuai dengan amanat Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi Dasar Negara RI harus dijiwai PIAGAM JAKARTA 22 Juni 1945 yang berintikan SYARIAT ISLAM, maka sistem bernegara Indonesia harus berdasarkan Syariat Islam. Sistem yang berdiri tegak atas dasar Syariat Islam adalah sistem yang bersih, sistem yang anti korupsi, sistem yang mendapat berkah ilahi.
Dan sesuai amanat konstitusi bahwasanya Indonesia adalah Negara Musyawarah, bukan Negara Demokrasi, apalagi Negara Liberal, maka bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi Musyawarah Mufakat sesuai dengan ajaran Islam. Musyawarah Demokrasi adalah musyawarah palsu karena hanya mengacu kepada suara terbanyak, sehingga dengan suara terbanyak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sedang Musyawarah Islam adalah musyawarah sejati yang selalu mengacu kepada kebenaran ajaran Islam, sehingga akan tetap menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
* Setelah Ikut Kajian Umum....
oleh Mega Octaviany
Kebanyakan pencuri berasal dari kalangan orang miskin tak mampu, sedang kebanyakan koruptor berasal dari kalangan orang kaya yang mampu. Kebanyakan pencuri berasal dari kalangan wong cilik yang serba kekurangan, sedang kebanyakan koruptor berasal dari kalangan pegawai negeri mau pun swasta yang berkecukupan. Kebanyakan pencuri berasal dari kalangan rakyat jelata, sedang kebanyakan koruptor berasal dari kalangan pejabat berkuasa.
Kebanyakan pencurian bersifat individual, artinya para pelaku terbatas kepada pribadi orang per orang atau kelompoknya masing-masing, sedang kebanyakan korupsi bersifat struktural yaitu melibatkan kalangan atas hingga ke bawah secara hirarki kepemimpinan, bahkan melebar kesamping sesuai sayap kemitraan. Kebanyakan pencurian hanya berdampak mikro kepada korbannya saja, sedang kebanyakan korupsi berdampak makro yang merugikan berbagai pihak. Kebanyakan pencurian hanya memiliki efek domino yang pendek dan sempit, sedang kebanyakan korupsi memiliki efek domino yang panjang dan meluas.
Dengan demikian, tidak diragukan bahwasanya korupsi lebih jahat dan lebih berbahaya dari pada pencurian, apalagi korupsi yang mencapai ratusan juta hingga milyaran bahkan trilyunan rupiah. Karenanya, koruptor harus dikenakan sanksi hukum yang berat, sekurangnya sama dengan hukum pencuri yaitu potong tangan, dan bagi tindak pidana korupsi besar dan sangat membahayakan harus dihukum mati.
Namun ironisnya, dengan dalih penegakan hukum, nenek tua tak berdaya yang mengambil dua butir buah coklat dan petani miskin yang mengambil sebuah semangka, harus menghadapi proses hukum yang berliku dengan tuduhan sebagai "pencuri". Sementara ada koruptor yang dengan bebas tak terjerat hukum. Ada pun koruptor yang ditahan, ada yang bisa buat istana dalam penjara dan ada pula yang bisa jalan-jalan ke Bali menonton tenis. Parahnya, koruptor mendapat remisi masa tahanan, sehingga lahir anekdot : Di Arab koruptor dipotong tangan. Di China koruptor dipotong kepala. Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan. Fantastisnya, ada koruptor "Kakap" dikejar hingga ke Kolumbia, melintasi empat benua : Asia, Eropa, Afrika dan Amerika, namun menjijikkannya banyak koruptor lain setingkat "Hiu" dan "Paus" lari ke negeri jiran tidak ditangkap. Kenapa ???
Korupsi di Indonesia ibarat penyakit "koreng" di sekujur tubuh akibat darah yang kotor, sehingga kalau pun koreng tersebut diobati satu per satu sedang darah kotornya tetap dibiarkan, maka "satu koreng sembuh, seribu koreng tumbuh". Karenanya, disamping setiap koreng diobati, maka darah kotornya pun harus diganti dengan darah bersih, sehingga terwujud penyembuhan menyeluruh. Artinya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dimulai dengan pembersihan dan pembenahan sistemnya.
Dalam sistem demokrasi Indonesia, suara rakyat dan suara partai serta suara anggota dewan bisa diperjual-belikan. Undang-Undang jadi pesanan. Peraturan jadi objekan. Siapa punya uang jadi pemenang. Tradisi rakyat pun berubah dari "membela yang benar" menjadi "membela yang bayar". Dari mulai pencalonan kepala kampung hingga kepala daerah bahkan sampai kepala negara, semuanya uang yang berperan. Partai dan kelompok pendukung beramai-ramai menikmati "sogokan" dengan istilah "gizi", "tali penyambung", "modal juang", "ongkos sosialisasi", "biaya akomodasi" dan ada juga yang menyebutnya sebagai "pampasan perang". Belum lagi MoU bagi-bagi "kue kekuasaan" antar partai pendukung, yang di kemudian hari pos-pos kekuasaan yang didapatkannya menjadi "Kas Khusus" untuk membesarkan partainya masing-masing.
Para konglomerat pun tidak mau ketinggalan berlomba menanam saham dalam pencalonan dan pemilihan tersebut, dengan "ikatan janji" mendapatkan aneka proyek bisnis dengan omset milyaran setelah kemenangan. Berbagai keserakahan mengelilingi perebutan kekuasaan, dan berbagai kerakusan siap menerkam rakyat saat pesta kemenangan. Hari kemenangan berarti hari hitung-hitungan biaya pemasukan dan pengeluaran, serta hari pengaturan strategi untuk mengembalikan modal sekaligus mengais keuntungan. Hal semacam ini juga terjadi di hampir seluruh sektor pekerjaan, mau jadi pegawai, ingin naik pangkat dan jabatan, minta penempatan yang basah, dan yang sejenisnya. Semuanya harus ada "uang pelicin". Ini namanya sistem korup !
Sistem Korup di Indonesia pada mulanya lahir dari Korupsi Sistem. Amanat konstitusi Indonesia sejak awal berdirinya NKRI telah menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Musyawarah sebagaimana tertera dalam Pancasila sila keempat, bukan Negara Demokrasi, apalagi Negara Liberal. Namun kenyataannya, kini tangan-tangan kotor demokrasi mencengkeram dan mengotori sendi-sendi Musyawarah Mufakat, bahkan kuku-kuku tajam Neolib ditancapkan di semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini namanya Korupsi Sistem !
REVOLUSI SISTEM ATAU REVOLUSI RAKYAT
Melihat kondisi semacam itu, rakyat pun muak, kecewa dan putus asa, sehingga kepercayaan kepada penegakan hukum mau pun pemerintah runtuh sudah. Akhirnya berbagai simbol negara dilecehkan, Pancasila dipelesetkan menjadi Pancagila, UUD dipelesetkan menjadi Ujung-Ujungnya Duit, KUHP dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, DPR dipelesetkan menjadi Dewan Penggarongan Rakyat, Sistem Presidensial dipelesetkan menjadi Presiden Sial, KPK dipelesetkan menjadi Komisi Perlindungan Koruptor, PTIK dipelesetkan menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan, dan lain sebagainya. sungguh sangat memprihatinkan.
Di Inggris saat ini, peningkatan pengangguran telah menimbulkan huru-hara di berbagai kota besar, termasuk ibu kota London. Padahal, masyarakat Inggris secara umum terpelajar dan berpenghasilan. Lalu bagaimana di Indonesia, yang masyarakatnya sudah terpuruk dalam kondisi yang sangat parah, bukan lagi peningkatan pengangguran yang terjadi, bahkan peningkatan kemelaratan yang naik tajam. Pada tahun 1998, kondisi macam ini telah mengantarkan kepada huru-hara nasional yang melahirkan reformasi. Dan kini, reformasi telah berubah menjadi "repotnasi". Lalu akankah repotnasi melahirkan revolusi sosial ? Bisa jadi, karena indikasinya setiap hari sudah tampak, yaitu adanya peristiwa huru-hara lokal di berbagai daerah, seperti pembakaran kantor kelurahan dan kecamatan karena penyelewengan distribusi raskin (beras orang miskin), atau penghancuran kantor DPRD, Gubernur dan KPUD karena kecurangan dalam Pilkada, atau bentrok pedagang kaki lima dengan aparat karena penggusuran tempat usaha, dan lain sebagainya.
Itu semua adalah revolusi lokal, yang jika dibiarkan akan terus bergulir bagai bola salju, sehingga akhirnya bisa berubah menjadi revolusi sosial secara nasional. Karenanya, untuk mencegah terjadinya revolusi sosial, maka harus segera dilakukan revolusi sistem. Sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia harus bersih dari korupsi sistem, sehingga tidak menjadi sistem yang korup.
Sesuai dengan amanat Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi Dasar Negara RI harus dijiwai PIAGAM JAKARTA 22 Juni 1945 yang berintikan SYARIAT ISLAM, maka sistem bernegara Indonesia harus berdasarkan Syariat Islam. Sistem yang berdiri tegak atas dasar Syariat Islam adalah sistem yang bersih, sistem yang anti korupsi, sistem yang mendapat berkah ilahi.
Dan sesuai amanat konstitusi bahwasanya Indonesia adalah Negara Musyawarah, bukan Negara Demokrasi, apalagi Negara Liberal, maka bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi Musyawarah Mufakat sesuai dengan ajaran Islam. Musyawarah Demokrasi adalah musyawarah palsu karena hanya mengacu kepada suara terbanyak, sehingga dengan suara terbanyak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sedang Musyawarah Islam adalah musyawarah sejati yang selalu mengacu kepada kebenaran ajaran Islam, sehingga akan tetap menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
* Setelah Ikut Kajian Umum....
oleh Mega Octaviany
0 komentar:
Posting Komentar