Dari Minangkabau untuk Republik
Posted by Unknown
Posted on 15.15
with No comments
Ditulis oleh Gamawan Fauzi- sekarang MENDAGRI Selasa, 24 Februari 2009 17:59
Tahun 2008 merupakan momentum yang mempunyai arti sangat penting bagi bangsa Indonesia. Pertama, karena bertepatan dengan peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional 1908. Kedua, pada penghujung tahun ini tepat dua tahun sejak keluarnya Keputusan Presiden No. 28/2006 tertanggal 18 Desember 2006 yang menetapkan hari lahirnya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat pada tanggal 19 Desember 1948 sebagai “Hari Bela Negara” dan merupakan hari besar nasional.
Negara Republik Indonesia dirintis, didirikan, dipertahankan, dibela, dan dibangun atas usaha, perjuangan dan pengorbanan seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan daerah yang tersebar di lebih 17.000 pulau. Sebagaimana suku bangsa lainnya di Indonesia, suku bangsa Minangkabau telah pula turut memberikan sumbangannya bagi sejarah dan perkembangan bangsa Indonesia, sejak masa perintisan, perjuangan, hingga 63 tahun usia kemerdekaan bangsa kita.
Ada dua peristiwa sejarah penting selama Perang Kemerdekaan yang hendak saya catatkan untuk dapat kita kenang dan renungkan, lalu kita tangkap maknanya sebagai tingginya semangat “bela negara” masyarakat kita. Pertama, sumbangan rakyat Minangkabau berupa pembelian sebuah kapal terbang untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1947. Kedua, peristiwa terbentuknya dan eksistensi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Sumatera Barat, tahun 1948 – 1949.
Riwayat Kapal Terbang Avro Anson
Hanya beberapa bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada ranggal 17 Agustus 1945, Belanda yang telah menjajah negeri kita selama hampir tiga setengah abad ingin kembali menguasai Indonesia. Mulanya membonceng dengan pasukan Sekutu, kemudian dengan kekuatan militernya kembali menduduki sebagian wilayah Tanah Air kita. Dengan sekuat tenaga dan penuh semangat, meskipun dengan bekal dan senjata seadanya, seluruh rakyat Indonesia berjuang mempertahankan negara yang baru merdeka ini.
Namun tekanan dan gempuran tentara Belanda tak urung membuat bangsa kita terjepit. Di samping menghadapi serangan militer, bangsa kita juga dipersulit dengan blokade ekonomi. Puncaknya, pertengahan Juli 1947 Belanda melancarkan apa yang kita kenal dengan Agresi Militer I. Kota-kota besar di Jawa dan Sumatera diduduki tentara Belanda. Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Di Sumatera, kota-kota besar seperti Medan, Padang, dan Pelembang juga dikuasai Belanda. Ibukota Keresidenan Sumatera Barat terpaksa dipindahkan ke Bukittinggi. Setelah Medan dan Pematang Siantar juga diduduki Belanda, Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatra yang dipimpin Mr. Tengku Mohammad Hassan pun pindah pula ke Bukittinggi.
Meskipun Jawa dan Sumatera sama-sama menjadi sasaran pendudukan Belanda, namun Wakil Presiden Bung Hatta melihat Sumatera lebih memungkinkan menjadi daerah alternatif untuk menjadi pusat pemerintahan bila Jawa dikuasai Belanda. Maka selama tujuh bulan, dari bulan Juni 1947 hingga Februari 1948, Wakil Presiden Bung Hatta bersama sejumlah pejabat tinggi negara dan stafnya berkantor di Bukittinggi untuk memimpin perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di (dari) Sumatera.
Bersama para pemimpin di daerah ini Bung Hatta juga berusaha mencari jalan mengatasi blokade ekonomi yang makin menyulitkan posisi pemerintah Republik dan menyusahkan kehidupan rakyat. Salah satunya, dengan meminta rakyat Minangkabau menyumbangkan sebuah kapal terbang untuk mengatasi blokade Belanda dan mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, atas Instruksi Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta, pada tanggal 27 September 1947 di Bukittinggi dibentuk sebuah panitia yang diberi nama sesuai dengan maksud dan tujuannya: Panitia Pusat Pengumpulan Emas untuk Membeli Kapal Terbang. Panitia ini dipimpin oleh Mr. A. Karim, Direktur Bank Negara, dengan anggota para pejabat dan tokoh yang ikut rombongan Bung Hatta dari Yogyakarta serta diperkuat oleh Mr. Sutan Mohammad Rasjid, residen Sumatera Barat.
Panitia pusat dibantu panitia lokal yang terdiri dari pemuka masyarakat dan pimpinan perjuangan di daerah, bertugas mengumpulkan sumbangan perhiasan emas dari rakyat Sumatera Barat. Semua unsur kepemimpinan tradisional Minangkabau dilibatkan: terdiri dari tali tigo sapilin yakni ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, serta kaum ibu. Mereka turun ke kota-kota hingga ke pelosok nagari-nagari, menggugah masyarakat dan meminta kerelaan kaum ibu menyumbangkan perhiasan emas mereka untuk perjuangan. Pertemuan diadakan di berbagai tempat: tanah lapang, mesjid, surau-surau, juga gedung sekolah, bioskop dan sebagainya.
Tanpa diduga, meskipun rakyat sedang susah di masa revolusi yang sulit, program tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Sebagai contoh, ketika Residen Mohammad Rasjid dan Komandan Divisi Banteng Kolonel Ismael Lengah mengumpulkan dana perjuangan di Padang Panjang. Di depan hadirin yang memenuhi gedung bioskop tempat pertemuan diadakan, kedua pimpinan perjuangan tersebut memaparkan suka-duka para prajurit di front pertempuran menghadapi tentara Belanda. Dilukiskan pula bagaimana kekejaman tentara Belanda yang membunuh Walikota Padang Bagindo Azizchan. Karena Padang Panjang termasuk dekat dengan daerah pertempuran, tidaklah terlalu sulit menjelaskannya kepada rakyat.
Ternyata, dalam keadaan krisis dan hidup dalam kesusahan, ketika menghadapi musuh bersama, rakyat mudah dipersatukan. Secara serentak mereka mendaftarkan dan menyerahkan sumbangan. Dalam kesempatan tersebut, kaum ibulah yang berdiri di barisan terdepan, karena pada saat itu juga mereka dengan rela menyerahkan perhiasan emas yang dipakainya: gelang, subang, lontin, bahkan cincin kawin –karena itulah yang terbawa pada waktu itu. Gelora semangat perjuangan untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia yang sedang terancam membuat mereka lupa dengan kesulitan hidup mereka sendiri.
Walhasil, hanya dalam tempo kurang dari dua bulan, emas sudah terkumpul sebanyak satu kaleng biskuit. Pada akhir November 1947, bertempat di kantornya Gedung Agung (kini Istana Bung Hatta), Wakil Presiden Bung Hatta menerima emas seberat 14-15 kg tersebut dari tangan Ketua Majelis Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Sumatera Barat, Chatib Sulaiman. Emas perhiasan yang berasal dari sumbangan rakyat Sumatera Barat itu lalu dilebur dan dijadikan emas batangan.
Wakil Presiden Bung Hatta lantas menugaskan salah seorang pembantu dekatnya, Aboe Bakar Loebis bersama timnya mencari kapal terbang untuk dibeli. Berkat bantuan dua staf Perwakilan RI di Singapura --kebetulan putra Minang pula-- yakni Letnan Penerbang Mohammad Sidik Tamimi alias Dick Tamimi dan Ferdy Salim (putra Haji Agus Salim), didapat sebuah kapal terbang jenis Avro Anson di Muangthai. Pesawat tersebut milik Paul H. Keegan, seorang warga negara Australia dan bekas penerbang RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) pada Perang Dunia II, memang hendak dijual oleh yang empunya. Awal Desember 1947, Avro Hanson itu pun diterbangkan ke lapangan udara Gadut di Bukittinggi oleh pemiliknya, didampingi Dick Tamimi dan Ferdy Salim, untuk disaksikan oleh para pemimpin yang ada di daerah ini.
Transaksi disepakati. Harga pesawat itu setara dengan 12 kg emas batangan. Tapi Paul Keegan minta pembayaran diserahkan di Songkhla, Thailand. Maka pada tanggal 9 Desember 1947, Avro Anson diterbangkan dari Gadut menuju Songkhla dengan transit di Pekanbaru untuk mengisi bahan bakar. Dua penerbang AURI, Iswahyudi sebagai pilot dan Halim Perdanakusuma sebagai navigator, didatangkan dari Yogyakarta untuk menerbangkan pesawat tersebut. Penumpangnya adalah Paul Keegan, Aboe Bakar Loebis, Is Yasin, dan Dick Tamimi. Mereka sampai di Songkhla sore hari. Nasib nahas menimpa Aboe Bakar Loebis dkk. Para pejuang Indonesia itu diusir polisi setempat karena dituduh sebagai penyelundup candu dan emas. Mereka terpaksa keluar dari Thailand melalui Penang (Malaysia) selanjutnya ke Singapura dan kembali ke Indonesia. Sementara pesawat diterbangkan kembali ke Bukittinggi oleh Iswahyudi berdua saja dengan Halim Perdanakusuma.
Keesokan harinya, sekitar satu jam setelah sampai di Singapura, Aboe Bakar Loebis menerima telegram dari Polisi Malaka yang mengabarkan sebuah pesawat Avro Anson telah jatuh di pantai Selat Malaka, dekat daerah Tanjong Hantu, Negeri Perak, Malaysia. Hanya jenazah Halim Perdanakusuma yang ditemukan, sedangkan Iswahyudi hilang. Halim dikuburkan di Malaysia –beberapa tahun kemudian dipindahkan ke TMP Kalibata di Jakarta.
Begitulah nasib pesawat Avro Anson. Belum sempat dimanfaatkan, telah jatuh. Tapi kapal terbang yang dibeli dengan sumbangan emas rakyat Sumatera Barat tersebut dicatat oleh sejarah karena telah melahirkan dua pahlawan nasional: Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma. Nama Iswahyudi diabadikan untuk lapangan terbang AURI di Malang, sedangkan Halim Perdanakusuma dipakai untuk nama pangkalan utama AURI di Jakarta.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Bulan Februari 1948 Bung Hatta kembali ke Yogyakarta. Saat itu pemerintah pusat di Yogyakarta maupun para pemimpin perjuangan di Bukittinggi sudah menyadari perang akan meletus kembali karena Belanda mulai melanggar isi perjanjian Renville yang telah ditandatangani sebelumnya. Oleh karena Sumatera sejak semula dipandang sebagai daerah harapan dan sekaligus alternatif bagi kedudukan pemerintahan nasional jika seluruh Jawa terkepung Belanda, maka pemerintah pusat mengirim sejumlah pemimpin ke Sumatera. Dalam bulan November 1948, telah datang ke Bukittinggi delegasi menteri-menteri dan pejabat tinggi negara, di bawah pimpinan Menteri Kemakmuran Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, guna mempersiapkan segala sesuatu jika sampai terjadi keadaan darurat.
Tepat pada pukul 23.30, Sabtu malam tanggal 18 Desember 1948, wakil Mahkota Tinggi Belanda di Jakarta, Dr. Beel, menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville (kesepakatan tapal batas wilayah kekuasaan Belanda dengan Republik Indonesia). Pada malam itu juga, sebuah pesawat jenis Mustang meraung-raung di atas udara Kota Bukitting¬gi. Pada mulanya pesawat itu oleh para pemimpin dan sebagian penduduk Bukittinggi dikira membawa Presiden Soekarno yang sebelumnya dikabarkan akan mengadakan perjalanan ke India memenuhi undangan PM Nehru. Karena itu, mereka sibuk membantu menerangi lapangan udara Gadut dengan lampu-lampu mobil guna mempermudah pendaratan malam. Namun ternyata pesawat itu adalah kepunyaan Belanda yang terbang menjatuhkan pamflet.
Penyebaran ribuan pamflet tersebut berlanjut hingga keesokan harinya. Kira-kira pukul 06.00 pagi hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, kapal terbang Belanda itu melayang rendah di atas Hotel Merdeka, dekat stasiun kereta api Bukittinggi. Pesawat itu menjatuhkan sebuah peti besar bermuatan ribuan pamflet, antara lain berisi pemberitahuan bahwa pada pagi itu tentara Belanda mulai bergerak dari Padang; pukul 13.00 siang akan memasuki Bukittinggi; sambutlah tanpa perlawanan, polisi hendaklah tinggal di tempat dan menyerahkan senjata (kepada tentara Belanda), dan rakyat umum hendaklah tenang.
Pagi hari itu Belanda melancarkan serangan serentak di Jawa dan Sumatera. Sasaran utama mereka di Jawa menduduki ibukota Yogyakarta, kemudian menawan Presiden dan Wakil Presiden RI, Ir. Soekarno dan Dr. Moh. Hatta, serta sejumlah pemimpin lainnya termasuk bekas Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Di Sumatera se¬rangan ditujukan ke jantung pertahanan Republik di Bukittinggi. Bergerak dari basis pertahanan mereka di Padang, pasukan Belanda melakukan terobosan cepat lewat tiga jurusan. Pertama, menyusuri jalan raya Padang-Kayutanam dan seterusnya via Lembah Anai, menggunakan formasi tempur dengan perlengkapan tank-waja dan senjata berat menerobos ke Padang Panjang dan selanjutnya menuju Bukittinggi. Kedua, memotong garis pertahanan militer Republik di pedalaman dengan menggunakan empat pesawat Catalina yang didaratkan di Danau Singkarak.
Ketiga, melintasi garis Renville dekat Indarung di Front Timur dan seterusnya via celah Subang menuju Solok. Meskipun telah dirintangi dengan perusakan jembatan serta penebangan pohon dan membelintangkannya di jalan, namun pasukan Belanda dapat bergerak cepat tanpa mendapat perlawanan yang berarti hingga berhasil menduduki Kota Solok pada Senin sore tanggal 20 Desember.
Walaupun pasukan Republik yang bahu-membahu dengan rakyat tak berhasil membendung gerak maju tentara Be¬landa, namun kegigihan mereka mengusahakan blokade dan perintangan telah memberikan kesempatan kepada para pemimpin sipil dan militer di Bukittinggi untuk melakukan berbagai persiapan bagi langkah-langkah perjuangan selanjutnya.
Tatkala tentara Belanda sedang bergerak menuju Padang Panjang, pada tengah hari tanggal 19 Desember, berlangsung suatu rapat kilat di bekas Istana Wakil Presiden (kini Istana Bung Hatta)di Bukittinggi yang waktu itu menjadi rumah kediaman Ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. Teuku Moh. Hasan. Rapat dihadiri Menteri Kemakmuran Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dan rombongan yang sudah berada di Bukittinggi sejak sebulan sebelumnya —antara lain Komisaris Negara Urusan Keuangan Mr. Lukman Hakim-- dengan Gubernur Sumatera Tengah Mr. M. Nasroen, Panglima Tentara Teritorium Sumatera (PTTS) Kolonel Hidajat, Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah Soelaiman Effendi, Kepala Jawatan Kepolisian Negara Cabang Sumatera Komisaris Besar Oemar Said, serta sejumlah pembesar lainnya.
Dalam rapat tersebut diambil keputusan: segera meninggalkan Kota Bukittinggi. Malam hari sekitar pukul 20.00, Sjafroeddin Prawiranegara, Lukman Hakim, T.M. Hasan, dan beberapa pembesar serta anggota rombongan berikut sejumlah perlengkapan bertolak menuju Payakumbuh selanjutnya ke Halaban –daerah sekitar 16 km di selatan Paya¬kumbuh. Sedangkan rombongan Gubernur Sumatera Tengah Mr. Nasroen, PTTS Kolonel Hidajat, Ketua DPR-ST Iljas Jakoeb dan Kepala Polisi Sumatera Tengah Soelaiman Effendi, menuju arah Utara. Nasroen dan Iljas Jacoub melanjutkan perjalanan ke Lubuk Sikaping, di mana Gubernur Sumatera Tengah berkantor selama masa Agresi II Belanda tersebut. Sedangkan Soelaiman Effendi bersama pasukan Mobbrig membangun basis pertahanan di daerah Palupuh, lk. 25 km sebelah utara Bukittinggi. Sementara Kolonel Hidajat setelah sampai di Koto Tinggi (Suliki) meneruskan perjalanan ke Sumatera Utara, kemudian ke Aceh dan menetap di sana hingga Penyerahan Kedaulatan.
Sementara itu, Residen Sutan Mohammad Rasjid bersama sejumlah pimpinan pemerintah keresidenan masih bertahan di Bukittinggi hingga tanggal 21 Desember. Selama hari Senin dan Selasa (20 dan 21 Desem¬ber), Residen yang juga merangkap Ketua Dewan Pertahanan Daerah (DPD), bersama seluruh anggota DPD dan Dewan Eksekutif Keresidenan, sangat sibuk membahas situasi yang sedang dihadapi. Baru menjelang tengah malam hari Selasa 21 Desember, rombongan Residen meninggalkan Kota Bukittinggi menuju Payakumbuh, selanjutnya ke Selatan untuk bergabung dengan rombongan Sjafroeddin. Sebelum berangkat sejumlah bangunan di Kota Bukittinggi dibumihanguskan, termasuk Hotel Merdeka dan Istana Wakil Presiden (kini Istana Bung Hatta) di depan Jam Gadang, agar kalau Belanda datang tidak bisa lagi mereka manfaatkan.
Pagi Subuh tanggal 22 Desember pasukan Belanda yang telah membangun basis di Padang Panjang bergerak menuju Bukit¬tinggi, dan siangnya memasuki kota yang telah ditinggalkan para pejabat pemerintahan RI dan sebagian besar penduduknya yang telah mengungsi ke daerah sekitar. Pada hari itu pula, Sjafroeddin dan rom¬bongan di Halaban telah mendapat berita resmi bahwa ibukota RI, Yogyakarta, telah jatuh ke tangan Belanda serta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohd. Hatta ditawan Belanda.
Mengantisipasi kekosongan pemerintahan Republik, dan untuk melanjutkan kepemimpinan perjuangan, Sjafroeddin Prawiranegara membentuk Peme¬rintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang ia pimpin sendiri dengan jabatan Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Anggota kabinet terdiri dari: Mr. T. Mohamad Hasan (Wakil Ketua PDRI merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri PPK, dan Menteri Agama); Mr. St. Mohamad Rasjid (Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Menteri Pembangunan, dan Menteri Pemuda); Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman); Ir. M. Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan); Ir. Indra Tjahja (Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran); dan M. Danubroto sebagai Sekretaris PDRI. Selanjutnya ditetapkan pula Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang RI; Kolonel Hidajat (Panglima Tentara Teritorium Sumatera /PTTS); Kolonel Laut Nazir (Kepala Staf Angkatan Laut), Kolonel H. Soejono (Kepala Staf Angkatan Udara), dan Komisaris Besar Oemar Said sebagai Kepala Kepolisian Negara.
Menurut Mr. Sutan Mohammad Rasjid, embrio PDRI sudah terbentuk di Bukittinggi tanggal 19 Desember 1948. Tetapi baru setelah diterima berita resmi bahwa ibukota Yogyakarta telah jatuh ke tangan Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta ditawan Belanda, Sjafroeddin mengumumkan terbentuknya PDRI di Halaban pada dini hari jam 3.40, Rabu tanggal 22 Desember 1948.
Susunan Kabinet PDRI beberapa kali mengalami perubahan. Setelah kontak dengan Mr. A.A. Maramis di New Delhi (India), ia ditunjuk menjabat Menteri Luar Negeri PDRI. Satu lagi anggota Kabinet PDRI yang tidak berada di Sumatera adalah Jenderal Soedirman yang diangkat menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Soedirman dan pasukannya selama periode PDRI tetap bergerilya dan memimpin pasukannya di Jawa, menyatakan dukungan dan tunduk kepada PDRI di Sumatera. Ketua PDRI juga menunjuk Komisariat PDRI untuk Pulau Jawa.
Lahirnya PDRI boleh disebut karena tuntunan dan perlindungan Allah Swt. atas bangsa Indonesia. Sebelum ditangkap dan ditawan Belanda, Presiden Soekarno telah mengirimkan radiogram yang memberikan mandat kepada Mr. Sjafroeddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera “apabila pemerintahan di Yogyakarta karena sesuatu dan lain hal tidak dapat berfungsi”. Walaupun mandat itu tak pernah diterima oleh Sjafruddin, namun bersama para pemimpin perjuangan di Sumatera ia segera memutuskan membentuk PDRI karena dilandasi oleh naluri bahwa setelah pemerintah di Yogya lumpuh perlu dibentuk pemerintahan darurat untuk melanjutkan eksistensi Negara RI.
Terbentuknya PDRI jelas di luar perhitungan penguasa Belanda di Indonesia. Dengan menduduki Yogya dan menawan Presiden dan Wakil Presiden, mereka berharap akan terjadi keadaan kosong pemerintahan (vacum of power). Bila itu terjadi, maka hilanglah Negara RI –karena tidak lagi memenuhi syarat sebuah negara yang mencakup adanya wilayah, penduduk, dan pemerintahan yang berdaulat— dan Indonesia akan kembali menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda.
Dengan demikian, jelaslah, terbentuknya PDRI telah menjadi “penyambung nyawa” sekaligus pelanjut eksistensi Negara Republik Indonesia. Situasi ini tentu mengecewakan Belanda, sehingga mereka bertekad menghancurkannya dengan terus menyerang dan mengejar kedudukan PDRI. Namun hal itu pun tak dapat dilakukan Belanda, karena setelah dibentuk di Halaban, PDRI kemudian menjadi pemerintahan yang selalu bergerak (mobile). Kedudukan pusat (pimpinan) PDRI selalu berpindah-pindah dan berpencar-pencar di Koto Tinggi (Suliki, 50 Kota), Sumpur Kudus (Kabupaten Sijunjung), dan Bidar Alam (Kabupaten Solok). Persis seperti yang dilukiskan kelak dalam buku PDRI; Somewhere in the Jungle --Suatu tempat di dalam hutan (Mestika Zed, 1997).
Selama delapan (19 Desember 1948 hingga pertengahan Juli 1949) berjuang untuk menjaga dan melanjutkan eksistensi Negara RI, para pejabat dan pemimpin PDRI hidup bersama rakyat -- tinggal dan berkantor di rumah penduduk, makan dari dapur umum, dan mandi di sungai atau pancuran. Selama periode PDRI, rakyat Sumatera Barat bahu-membahu dengan TNI dan Majelis Pertahanan Rakyat Derah (MPRD) dengan Barisan Pengawal Nagari/Kota (BPN/K)-nya, berjuang melindungi, memenuhi kebutuhan pokok, dan memberikan dukungan yang sangat besar demi membela eksistensi Negara Republik Indonesia. Rakyat mendirikan dapur-dapur umum di setiap nagari dan menyediakan makanan untuk tentara dan para pejuang.
Berkat eksistensi PDRI --walaupun ibukota RI diduduki dan Presiden dan Wakil Presiden ditawan— status RI sebagai negara tetap terjaga karena adanya pemerintahan yang berdaulat, sehingga dapat melanjutkan perjuangan bersenjata maupun melalui diplomasi. Eksistensi PDRI pulalah yang menjadi satu kekuatan utama diplomasi Republik Indonesia di dunia internasional, sehingga akhirnya memaksa pemerintah Kerajaan Belanda memberikan pengakuan kedaulatan terhadap RI dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, Negeri Belanda akhir tahun 1949.
Oleh Pemerintah RI, 58 tahun kemudian, hari lahir PDRI tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu tonggak penting perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Presiden Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28/2006 tanggal 18 Desember 2006, telah menetapkan hari lahir PDRI, tanggal 19 Desember, sebagai Hari Bela Negara dan hari besar nasional.
Semangat Bela Negara: Indonesia Bisa!
Dari kedua peristiwa sejarah sangat penting di atas, makna yang dapat kita tangkap dengan jelas adalah, bahwa kemerdekaan Indonesia direbut, dipertahankan dan diperjuangkan oleh para pemimpin berkat andil dan pengorbanan seluruh rakyat. Dua peristiwa penting itu juga menunjukkan kepada kita bahwa rakyat Indonesia sangat mencintai bangsanya, rela berkorban harta dan jiwa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaannya.
Selama Perang Kemerdekaan, sejarah membuktikan, rakyat telah menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menjaga dan membela eksistensi negara yang baru merdeka. Hubungan para pemimpin dengan rakyat sangat dekat. Keadaan bangsa yang baru merdeka, rasa senasib dan sepenanggungan telah menyatukan mereka. Tidak ada jarak dan tidak ada perbedaan yang mencolok. Pemimpin dan rakyat sama-sama tinggal di rumah yang sederhana, makan dari dapur umum yang sama, mandi di sungai dan air pancuran yang sama. Rakyat menjaga, membela dan mengikuti apa kata pemimpinnya, karena sangat yakin bahwa apa yang dikerjakan oleh para pemimpin adalah untuk kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara –negara yang didirikan bersama dengan tujuan kesejahteraan rakyat dan bukan untuk kemakmuran pemimpin (saja).
Rakyat mau berkorban karena mereka meyakini bahwa para pemimpin pun memberikan contoh dan tauladan dengan bekerja, berbuat, berkorban dan berjuang tanpa pamrih –kita yakin para pemimpin pada waktu itu tak pernah memikirkan gaji dan tunjangan jabatan, apalagi fasilitas jabatan ini dan itunya. Tak diragukan lagi, para pemimpin zaman itu memperoleh legitimasi dan pengakuan, bahkan dukungan dan kesetiaan penuh dari rakyat, semata-mata adalah karena integritas, kepribadian, moral, kejujuran, serta kemampuan mereka untuk merasakan penderitaan dan kesusahan rakyat. Sumber legitimasi mereka bulan pemilu atau pemilihan oleh MPR. Soekarno dan Hatta dengan penuh percaya diri menandatangani dan membacakan Proklamasi Kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia, karena keyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah untuk memenuhi kehendak rakyat. Keyakinan seperti itu pulalah kiranya yang mendasari Sjafroeddin Prawiranegara dengan berani dan percaya diri membentuk dan memimpin PDRI. Untuk memikul amanah dan tanggung jawab sebesar itu, ia tidak memerlukan legalitas, persetujuan Parlemen, atau semacam SK dan upacara pelantikan. Ia cukup berunding dengan sesama para pemimpin dan pejuang, lalu mengambil keputusan, karena ia yakin keputusan itu akan didukung rakyat.
Semangat rela berkorban, memberikan apa yang ada dan melakukan apa yang bisa, akan terbangun dan bergelora ketika kita harus menjaga eksistensi bangsa dan negara yang dibangun bersama; ketika kita menghadapi musuh bersama; ketika gerak perjuangan mempunyai tujuan yang sama; ketika hidup dalam rasa senasib dan sepenanggungan dan melangkah ke arah cita-cita dan kehendak bersama; dan ketika para pemimpin pun sedia berdiri bersama dan menyelami perasaan rakyatnya. Itulah semangat “bela negara”.
Semangat “bela negara” –rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara—yang telah ditunjukkan oleh generasi perintis dan pejuang kemerdekaan Indonesia enam dekade yang lalu, kiranya tetap dan masih sangat relevan untuk terus kita jaga, dipupuk dan digelorakan; lebih-lebih ketika bangsa kita menghadapi situasi sulit akibat ancaman krisis global yang terjadi sekarang ini.
Momentum peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional (1908 – 2008), dan peringatan kedua ditetapkannya tanggal kelahiran PDRI sebagai Hari Bela Negara, adalah saat yang tepat bagi kita bangsa Indonesia untuk kembali merenung dan mengambil hikmat dan pelajaran dari nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu.
Sejarah adalah masa lalu; sesuatu yang telah lewat. Tetapi masa lalu bisa menjadi kompas pemandu untuk melangkah ke masa depan. Simaklah tema besar peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional 2008: Indonesia Bisa! Lebih enam puluh tahun yang silam, ketika Republik Indonesia masih seumur jagung, ketika eksistensi negara terancam, ternyata rakyat Indonesia di Sumatera Barat bisa dan rela memberikan apa yang ada dan melakukan apa yang bisa; mengumpulkan emas untuk membeli sebuah kapal terbang untuk disumbangan kepada Negara Republik Indonesia. Padahal ketika itu zaman sedang sulit dan rakyat hidup dalam kesusahan.
Kekuatan rakyat –yang memiliki semangat bela negara dan rasa cinta kepada bangsa— adalah modal dasar yang besar, sumber mata air inspirasi yang tak pernah kering untuk bangsa ini bangkit menuju kejayaannya sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; negara dan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. (selesai)
0 komentar:
Posting Komentar