Hukum Jihad itu terbagi dua : Fardu A'in dan Fardu Kifayah. Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A'in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardy Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A'in.
A. Fardu Kifayah :
Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka.
Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.
"Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar." (QS An-Nisa 95)
Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.
Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit.
"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih." (QS Al-Fath 17)
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS At-Taubah 91)
"Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS At-Taubah 92)
"Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS At-Taubah 93)
Ibnu Qudamah mengatakan: "Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan."
Imam Syafi'i mengatakan : "Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun."
Al-Qurtubi mengatakan: "Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dienullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah."
Abu Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan : "Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali. Dan apa yang dikatakan oleh para Fukaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi(jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun."
Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a'in.
Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, "Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad - dengan makna yang lebih umum - sebagai fardu a'in, maka beliau mengatakan : "Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a'in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya."
Hadist-hadist yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a'in, antara lain :
"Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan." (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi)
"Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan." Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : "Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan "sebelum hari qiamat." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir)
Dari dua hadist di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad.
Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung mengahadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit.
Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a'in, maka tidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan. Dibawah ini akah dibahas mengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a'in.
B. Fardu A'in
Hukum Jihad menjadi Fardu A'in dalam beberapa keadaan:
1. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.
Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a'in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah:
"Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad)
Makna Hadist ini : "Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah"
Ibnu Hajjar mengatakan : "Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam."
2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.
Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan, maka jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)". (QS Al-Anfal 15)
"Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al-Anfal 16)
Rasulullah saw bersabda : "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, "Beliau saw ditanya: "Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?" Beliau saw menjawab : (1) Mempersekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu'minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).
3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.
Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi fardu ain bagi penghuni wilayah tst. Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum muslimin yang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimin diseluruh belahan bumi.
Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : "Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya, termasuk perempuan, hamba sahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang.
Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan : "...Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal diwilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad.
Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanita dan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya.
Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Dan juga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin.
Ar Ramli (Dari Mazhab Syafi'i) mengatakan : "Maka jika musuh telah masuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan.
Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan :"Jihad menjadi fardu 'ain didalam 3 keadaan:
a. Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan.
b. Apabila orang kafir telah masuk (menyerang) suatu negeri (diantara negeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka.
c. Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, maka kaum tsb wajib berangkat.
0 komentar:
Posting Komentar