Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santoso merupakan salah satu putra terbaik yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ia merupakan Kapolri ke-V yang dilantik pada 1 Mei 1968 menggantikan Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Polisi M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo.
Hoegeng Iman Santoso merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. Beliau lahir pada 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan. Meskipun berasal dari keluarga Priyayi (ayahnya merupakan pegawai atau amtenaar Pemerintah Hindia Belanda), namun perilaku Hoegeng kecil sama sekali tidak menunjukkan kesombongan, bahkan ia banyak bergaul dengan anak-anak dari lingkungan biasa. Hoegeng sama sekali tidak pernah mempermasalahkan ningrat atau tidaknya seseorang dalam bergaul.
Masa kecil Hoegeng diwarnai dengan kehidupan yang sederhana karena ayah Hoegeng tidak memiliki rumah dan tanah pribadi, karena itu ia seringkali berpindah-pindah rumah kontrakan. Hoegeng kecil juga dididik dalam keluarga yang menekankan kedisiplinan dalam segala hal. Hoegeng mengenyam pendidikan dasarnya pada usia enam tahun pada tahun 1927 di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Tamat dari HIS pada tahun 1934, ia memasuki Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yaitu pendidikan menengah setingkat SMP di Pekalongan.
Pada tahun 1937 setelah lulus MULO, ia melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middlebare School (AMS) pendidikan setingkat SMA di Yogyakarta. Pada saat bersekolah di AMS, bakatnya dalam bidang bahasa sangatlah menonjol. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang suka bicara dan bergaul dengan siapa saja tanpa sungkan-sungkan dengan tidak mempedulikan ras atau bangsa apa. Kemudian pada tahun 1940, saat usianya menginjak 19 tahun, ia memilih melanjutkan kuliahnya di Recht Hoge School (RHS) di Batavia.
Selama kepemimpinan Hoegeng, banyak hal terjadi dalam tubuh internal Kepolisian Republik Indonesia. Langkah pertama, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya adalah struktur baru yang lebih dinamis dan komunikatif. Langkah kedua adalah perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1969, sebutan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) diubah menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Selain itu sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri) dan nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian.
Di bawah kepemimpinan Hoegeng pulalah peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization, semakin aktif. Hal tersebut ditandai dengan dibukanya sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Pada masa kepemimpinan Hoegeng sebagai Kapolri, strategi kepolisian Indonesia yang tercermin pada masa itu adalah bahwa Kepolisian Republik Indonesia kembali ke fungsi pokok kepolisian, tidak mencampuri urusan angkatan lain di ABRI. Hoegeng juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemisahan Angkatan Kepolisian dari ABRI. Ia juga meminta agar angkatan lain tidak ikut campur tangan dalam urusan Kepolisian Indonesia. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah bahwa Kepolisian Indonesia “kembali kepada fungsinya”.
Jujur dan Amanah
Kapolri di tahun 1968-1971 ini, juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya dimana pun. salah satu bentuk kejujuran beliau antara lain:
Misalnya, ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja.
Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. “Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.
Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto.
Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi.
“Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Roelani. “Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya,” tambahnya.
Hoegeng memang seorang yang sederhana, ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai anak seorang Kapolri. “Bahkan anak-anak tak berani untuk meminta sebuah sepeda pun,” kata Merry.
Putra Hoegeng menceritakan pengalaman berharga mereka ketika menjadi seorang anak pejabat. Ia bercerita, ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan dua buah motor, sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan barang pemberian itu. “Padahal saya yang waktu itu masih muda sangat menginginkannya,” kenang putranya yang bernama Didit.
Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.
Memasuki masa pensiun, Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Perlu anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp 10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500. Walaupun pada akhirnya ada perubahan gaji pensiunan dari Rp. 10.000 ditetapkan menjadi Rp 1.170.000 hingga akirnya beliau wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30.
Hoegeng, sebuah permata indah yang berusaha bersinar dalam kegelapan. Namun tak kuasa melawan hingga akhirnya harus redup dan meninggalkan kegelapan merajalela di bumi Indonesia. Hoegeng adalah contoh bahwa masih ada kejujuran dalam hati setiap bangsa Indonesia. Jangan takut untuk menjadi pribadi yang jujur, meskipun kita harus terbuang dan tersingkir. Biarlah satu Hoegeng dapat membangkitkan jutaan Hoegeng lagi, demi bangsa yang menjunjung tinggi kejujuran.
Hoegeng wafat dalam usia 83 tahun. Ia meninggal karena penyakit stroke dan jantung yang dideritanya. Kepergiannya menyisakan kesedihan yang mendalam, karena Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaik bangsanya yang terkenal akan kejujuran dan konsistensinya.
0 komentar:
Posting Komentar