oleh Ricko Bahemar pada 29 Oktober 2009 jam 17:32
Inilah, mestinya, sebuah promosi pariwisata yang dampaknya bisa lebih besar daripada hasil kerja tiga menteri pariwisata sekaligus: Julia Roberts. Peraih Oscar ini bukan hanya pergi ke Bali Indonesia. Julia Roberts tinggal di Bali untuk lebih dari satu bulan. Bahkan, dia sedang syuting film Hollywood sebagai pemeran utama dalam film Eat, Pray, Love.
Bisa dibayangkan betapa besarnya gema Bali dan Indonesia setelah pemutaran film itu nanti. Bahkan, mestinya sudah sejak pembuatannya sekarang. Kita pasti masih ingat betapa pariwisata Selandia Baru mendapat durian runtuh ketika film Lord of The Rings dibuat di negeri dingin itu.
Julia Roberts, Hollywood, dan film yang didasarkan pada novel laris dunia: bentuk promosi apa lagi yang lebih hebat daripada itu..?
Seluruh APBN kita di bidang pariwisata pun (tahun 2009 hanya sekitar Rp 1,4 triliun) belum tentu cukup untuk merayu Hollywood agar mau bikin film yang bagus untuk mempromosikan Bali Indonesia. Itu, kedatangan Julia Roberts itu, tidak mencuil sedikit pun APBN kita.
Padahal, Malaysia saja harus menghabiskan dana besar agar "Gedung Jagung" (baca: menara kembar Petronas) yang menyandang gelar sebagai gedung kembar tertinggi di dunia itu bisa menjadi latar belakang atau setting film Entrapment, yang dibintangi aktris Catherine Zeta-Jones dan aktor Sean Connery, salah satu bintang film James Bond. Padahal, dalam film itu, Gedung Jagung hanya kelihatan beberapa kilas.
Kita sungguh harus berterima kasih kepada Julia Roberts. Tentu juga kepada Hollywood. Lebih khusus lagi kepada Elizabeth Gilbert yang telah menulis novel dengan setting Bali, khususnya Ubud (Gianyar) dan Jimbaran (Badung).
Tapi, sampai hari ini, saya belum melihat ada orang Indonesia yang secara terbuka mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kalau saja saya presiden Indonesia, saya akan menjamu Julia Roberts. Setidaknya kalau saya menteri pariwisata. Kita buat Julia Robert sangat terkesan selama di Bali.
Dengan kehadiran bintang film top dunia di Bali itu, apalagi untuk waktu yang lama, apalagi untuk syuting film bagus, apalagi mengenai daya tarik Bali, apalagi jalan ceritanya sangat menarik, rasanya baru kali ini Bali mendapat promosi gratis ke seluruh dunia lewat media yang sangat abadi ini: film. Memang, Bali pernah mendapat promosi melalui penyanyi Filipina, Maribeth, dengan lagunya Denpasar Moon. Namun, lagu itu tidak mendunia."Saya tidak jadi menyesal membeli properti di Bali," ujar seorang pengusaha Surabaya. "Harga properti di Bali pasti akan naik," tambahnya. Pengusaha itu memang pernah mengeluh setelah terjadi bom Bali. Kini ke mana-mana dia bercerita mengenai Julia Roberts yang lagi syuting film di Bali.
Begitu serunya pengusaha tersebut bercerita, sampai-sampai saya harus membeli novel yang sedang difilmkan dengan judul yang sama itu: Eat, Pray, Love. Cover novel itu sendiri sudah menarik: tulisan Eat-nya menggunakan keju. Pray-nya menggunakan untaian tasbih atau rosari. Love-nya menggunakan rangkaian kelopak bunga anggrek. Itulah novel karya penulis Amerika Serikat bernama Elizabeth Gilbert. Itulah novel yang masuk dalam daftar buku terlarisnya The New York Times. Itulah novel yang meski ditulis pada 2006, tapi masih terus menjadi perbincangan di Amerika. Terutama di kalangan yang khusus ini: wanita, umur 30?40-an tahun, mapan, dan berstatus janda. Jumlah mereka ini tidak kecil di AS mengingat kebiasaan cerai dan menjadi single mother sangat umum di sana.
Novel itu memang berkisah mengenai wanita pada umur yang mudah goyah tersebut. Kegoyahan yang berakibat pada gangguan kejiwaan yang sangat berat. Liz, yang akan diperankan oleh Julia Roberts, seperti layang-layang putus setelah bercerai dari suaminya. Dia begitu benci kepada suaminya itu sampai-sampai dia menolak kata-kata bijak "kalau engkau mau mengetahui lebih banyak tentang suamimu, maka ceraikanlah dia?. Dia benar-benar bercerai justru karena ingin berhenti mengetahui lebih jauh mengenai suaminya.
Sebagai orang Kristen KTP, dia memang percaya Tuhan. Tapi, dia merasa belum pernah bisa bertemu Tuhan. Sampai-sampai dia ragu bagaimana harus menyebut Tuhan: He (dia untuk laki-laki) atau She (dia untuk perempuan). Dia begitu ingin bertemu Tuhan dan mendapatkan kedamaian jiwa. Dia mengelana ke Italia, India, dan akhirnya ke Bali. Di Bali, Liz menemui Ketut Liyer yang dia anggap bisa menjawab pertanyaan dasar yang sulit ini: bagaimana bisa menyatu dengan Tuhan, dicintai dan mencintai Tuhan seumur hidup tapi tidak harus jadi pendeta atau ulama dan tetap bisa menikmati segala kenikmatan dunia.
Bali mendapat promosi yang luar biasa. Bali yang digambarkan di novel itu sebagai satu-satunya surga di dunia, yang bisa menyelesaikan persoalan rumit Liz: dia mendapatkan ketenteraman jiwa dan kemurnian cinta dari seorang pria asal Brazil yang tinggal di Bali dengan alasan yang sama.
Julia, maafkan kalau sampai Anda pulang nanti, tidak ada sambutan hangat untuk Anda dan rombongan. Maafkan kalau kami kurang berterima kasih kepada Anda"
Bisa dibayangkan betapa besarnya gema Bali dan Indonesia setelah pemutaran film itu nanti. Bahkan, mestinya sudah sejak pembuatannya sekarang. Kita pasti masih ingat betapa pariwisata Selandia Baru mendapat durian runtuh ketika film Lord of The Rings dibuat di negeri dingin itu.
Julia Roberts, Hollywood, dan film yang didasarkan pada novel laris dunia: bentuk promosi apa lagi yang lebih hebat daripada itu..?
Seluruh APBN kita di bidang pariwisata pun (tahun 2009 hanya sekitar Rp 1,4 triliun) belum tentu cukup untuk merayu Hollywood agar mau bikin film yang bagus untuk mempromosikan Bali Indonesia. Itu, kedatangan Julia Roberts itu, tidak mencuil sedikit pun APBN kita.
Padahal, Malaysia saja harus menghabiskan dana besar agar "Gedung Jagung" (baca: menara kembar Petronas) yang menyandang gelar sebagai gedung kembar tertinggi di dunia itu bisa menjadi latar belakang atau setting film Entrapment, yang dibintangi aktris Catherine Zeta-Jones dan aktor Sean Connery, salah satu bintang film James Bond. Padahal, dalam film itu, Gedung Jagung hanya kelihatan beberapa kilas.
Kita sungguh harus berterima kasih kepada Julia Roberts. Tentu juga kepada Hollywood. Lebih khusus lagi kepada Elizabeth Gilbert yang telah menulis novel dengan setting Bali, khususnya Ubud (Gianyar) dan Jimbaran (Badung).
Tapi, sampai hari ini, saya belum melihat ada orang Indonesia yang secara terbuka mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kalau saja saya presiden Indonesia, saya akan menjamu Julia Roberts. Setidaknya kalau saya menteri pariwisata. Kita buat Julia Robert sangat terkesan selama di Bali.
Dengan kehadiran bintang film top dunia di Bali itu, apalagi untuk waktu yang lama, apalagi untuk syuting film bagus, apalagi mengenai daya tarik Bali, apalagi jalan ceritanya sangat menarik, rasanya baru kali ini Bali mendapat promosi gratis ke seluruh dunia lewat media yang sangat abadi ini: film. Memang, Bali pernah mendapat promosi melalui penyanyi Filipina, Maribeth, dengan lagunya Denpasar Moon. Namun, lagu itu tidak mendunia."Saya tidak jadi menyesal membeli properti di Bali," ujar seorang pengusaha Surabaya. "Harga properti di Bali pasti akan naik," tambahnya. Pengusaha itu memang pernah mengeluh setelah terjadi bom Bali. Kini ke mana-mana dia bercerita mengenai Julia Roberts yang lagi syuting film di Bali.
Begitu serunya pengusaha tersebut bercerita, sampai-sampai saya harus membeli novel yang sedang difilmkan dengan judul yang sama itu: Eat, Pray, Love. Cover novel itu sendiri sudah menarik: tulisan Eat-nya menggunakan keju. Pray-nya menggunakan untaian tasbih atau rosari. Love-nya menggunakan rangkaian kelopak bunga anggrek. Itulah novel karya penulis Amerika Serikat bernama Elizabeth Gilbert. Itulah novel yang masuk dalam daftar buku terlarisnya The New York Times. Itulah novel yang meski ditulis pada 2006, tapi masih terus menjadi perbincangan di Amerika. Terutama di kalangan yang khusus ini: wanita, umur 30?40-an tahun, mapan, dan berstatus janda. Jumlah mereka ini tidak kecil di AS mengingat kebiasaan cerai dan menjadi single mother sangat umum di sana.
Novel itu memang berkisah mengenai wanita pada umur yang mudah goyah tersebut. Kegoyahan yang berakibat pada gangguan kejiwaan yang sangat berat. Liz, yang akan diperankan oleh Julia Roberts, seperti layang-layang putus setelah bercerai dari suaminya. Dia begitu benci kepada suaminya itu sampai-sampai dia menolak kata-kata bijak "kalau engkau mau mengetahui lebih banyak tentang suamimu, maka ceraikanlah dia?. Dia benar-benar bercerai justru karena ingin berhenti mengetahui lebih jauh mengenai suaminya.
Sebagai orang Kristen KTP, dia memang percaya Tuhan. Tapi, dia merasa belum pernah bisa bertemu Tuhan. Sampai-sampai dia ragu bagaimana harus menyebut Tuhan: He (dia untuk laki-laki) atau She (dia untuk perempuan). Dia begitu ingin bertemu Tuhan dan mendapatkan kedamaian jiwa. Dia mengelana ke Italia, India, dan akhirnya ke Bali. Di Bali, Liz menemui Ketut Liyer yang dia anggap bisa menjawab pertanyaan dasar yang sulit ini: bagaimana bisa menyatu dengan Tuhan, dicintai dan mencintai Tuhan seumur hidup tapi tidak harus jadi pendeta atau ulama dan tetap bisa menikmati segala kenikmatan dunia.
Bali mendapat promosi yang luar biasa. Bali yang digambarkan di novel itu sebagai satu-satunya surga di dunia, yang bisa menyelesaikan persoalan rumit Liz: dia mendapatkan ketenteraman jiwa dan kemurnian cinta dari seorang pria asal Brazil yang tinggal di Bali dengan alasan yang sama.
Julia, maafkan kalau sampai Anda pulang nanti, tidak ada sambutan hangat untuk Anda dan rombongan. Maafkan kalau kami kurang berterima kasih kepada Anda"
0 komentar:
Posting Komentar