Entah sampai kapan hal ini terus ada dan semuanya merupakan modal penting bagi kehidupan umat manusia di masa depan.
Kita saat ini merasa jika manusia sekarang telah  mencapai puncak peradaban, puncak ilmu pengetahuan, dan puncak kejayaan  teknologi. Namun tahukah Anda jika hal itu hanyalah pengulangan dari  sejarah masa silam?
Kaum Aad dan Tsamud dahulu kala telah memiliki  kemampuan untuk membangun gedung-gedung pencakar langit dan mengubah  gunung baru menjadi istana. Sisa-sisa kejayaan mereka sampai hari ini  masih bisa disaksikan siapa pun di Lembah Petra, Yordania.  
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan  kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan  tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya  yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka  ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi  membuat kerusakan. (QS. Al A’raaf, 7: 74)
Lalu Hiram, sang arsitek Kerajaan Nabi Sulaiman,  telah begitu mahir membangun dan mengkonstruksi sebuah istana megah di  mana lantainya terlihat bagaikan permukaan air yang sangat jernih hingga  membuat Ratu Bilqis terperdaya.
Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.  Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang  besar, dan disingkapkannya kedua betisnya”. Berkatalah Sulaiman:  “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah  Balqis, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap  diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan  semesta alam”.”(QS An Naml 44)
Kita sampai hari ini masih saja terheran-heran,  bagaimana manusia-manusia dahulu bisa membangun candi seindah dan  semegah Borobudur, bagaimana mereka bisa mengangkat dan memindahkan  bebatuan besar guna menyusun Stonehedge, membangun situs-situs raksasa  di Pulau Paskah, membuat garis Nazca di Pegunungan Peru, dan lain  sebagainya.
Manusia sekarang juga masih bertanya-tanya mengapa  di lahan bekas pertempuran besar antara kaum Pandawa melawan Kurawa di  Padang Khurusetra, yang sekarang menjadi gurun di Mahendjo Daro,  terdapat sisa radiasi nuklir. Apakah Bharatayudha itu merupakan perang  modern sehingga dipergunakan senjata berbahan nuklir? 
Dan yang paling menarik, tentu saja, kisah  kegemilangan nenek moyang kita yang dahulu kala, beribu tahun  sebelumnya, telah menghuni apa yang sekarang disebut sebagai Nusantara.  Sejarah Nusantara masih teramat banyak yang belum tergali dengan  sempurna. Masih teramat banyak misteri yang melingkupinya. Beberapa di  antaranya akan dipaparkan di sini.
Bangunan Candi dan Piramida
Indonesia atau Nusantara dahulu kala, puluhan ribu  tahun silam, adalah Atlantis. Banyak pihak yang mencemoohkan hal ini,  termasuk sebagian orang Indonesia sendiri. Mereka menyatakan jika hal  itu hanya sebagai pseudoscientism, ilmu ilmiah jadi-jadian.  Lantas siapakah orang yang berani dengan tegas menyatakan Indonesia  sekarang adalah Atlantis di zaman dahulu?
Adalah Profesor Arysio Santos des Nunes. Dia Pakar  Fisika Nuklir dari Brasil yang menjadi pengajar di sejumlah perguruan  tinggi bergengsi di Amerika dan pernah menjadi anggota Dewan Nuklir  Dunia di Swiss. Selama tigapuluhan tahun, Santos meneliti Timoeus dan Critias,  dua manuskrip tertua karya Plato yang menyinggung keberadaan Atlantis.  Hasilnya sungguh mengguncang dunia. Santos dengan sangat yakin  menegaskan jika Nusantara merupakan sisa-sisa Atlantis di masa lalu.  Tentang Santos dan Atlantisnya bisa dibaca di Eramuslim Digest edisi 11.  Demikian juga dengan ulasan dari Profesor Oppenheimer yang menyatakan  jika Sunda Land merupakan asal muasal pusat peradaban dunia.
Tentang Santos dan Oppenheimer, kini artikelnya  sudah bisa kita baca di mana-mana. Bahkan buku hasil penelitiannya pun  sudah diindonesiakan dan dengan mudah bisa diperoleh di berbagai toko  buku. Lepas dari keduanya, ada sejumlah temuan unik dan misterius yang  berbeda pada bangunan candi dan piramida yang ada di Nusantara, namun  memperkuat temuan Santos dan Oppenheimer, terkait dengan Nusantara  sebagai pusat peradaban dunia. Beberapa temuan itu akan dipaparkan satu  persatu di dalam serial tulisan ini. Inilah di antaranya:
Candi Cetho, Sukuh, dan Penataran 
Cetho dalam bahasa Jawa berarti “Nyata”. Candi  Cetho terletak di kaki Gunung Lawu, di Dusun Ceto, Desa Gumeng,  Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada ketinggian  1400 m di atas permukaan laut. Dilihat dari bentuknya, Candi Cetho  berbeda dengan candi-candi lain yang ada di Nusantara. Cetho bentuknya  menyerupai piramida, mirip dengan candi-candi yang ada di peradaban  bangsa Inca dan Suku Maya di Amerika Latin.
Menurut perhitungan sejumlah arkeolog, Cetho dibangun pada akhir zaman Majapahit, di kala kekuasaan Prabu Brawijaya ke V. Namun melihat bentuk fisik dari Cetho, anggapan itu sepertinya kurang tepat. Candi-candi yang dibangun di era akhir Majapahit biasanya terbuat dari batu bata merah, bukan batu kali seperti halnya Cetho. Lalu relief-relief yang ada pada candi-candi Majapahit di era yang sama biasanya detil dan rapih, sedangkan Cetho tidak. Relief-relief di candi Cetho, pemahatannya terlihat sangat sederhana. Ini semua mengindikasikan jika candi Cetho diduga kuat lebih tua usianya ketimbang Kerajaan Majapahit itu sendiri.
Baca sambungannya: Misteri Candi dan Piramida di Nusantara (2)


0 komentar:
Posting Komentar