Labels

100 Tokoh Dunia (97) Alam (28) Alien (9) Artikel (266) Binatang (18) Catatanku (17) Do"a (7) Download (6) FACEBOOK (8) Fakta (20) Film (23) Foto (91) GaMe (3) Handphone (6) Imsakiyah (17) Indonesiaku (3) Internet (11) Islam (174) Kata2 (5) Kenapa? (9) Kesehatan (24) Kisah (35) Kisah 25 Nabi (22) Komputer (12) Lelucon (33) Minangkabau (21) Misteri (73) Musik (9) Nusantara (1) Olah Raga (17) Pendidikan (2) Photoshop (86) Puisi (14) Renungan (37) Sejarah (109) Teknologi (13) Tips n Trik (16) Tokoh (165) Tour De Singkarak 2011 (7) Tour De Singkarak 2013 (1) TV (7) Unik n Kreatif (286) Video (7) Widget (1)

Perjuangan Seorang Ibu dan Anak Melawan Kanker

Denai - Ini merupakan kisah nyata. kehidupan seorang single parent yang berjuang menemani anaknya dalam melawan kanker ganas. satu pesan saya buat Anda :  

" JANGAN PERNAH MENYAKITI MAKHLUK BERNAMA IBU...!"

Foto-foto ini diambil oleh Renée C. Byer dan memenangkan Pulitzer 2007 di bagian Feature Photography.

Menggambarkan sosok seorang single Mother dalam berjuang bersama anaknya yang masih kecil untuk melawan kanker ganas.

Balapan bertelanjang kaki, Cyndie mendorong putranya Derek Madsen (10) naik dan turun lorong di UC Davis Medical Center di Sacramento pada 21 Juni 2005. Cyndie berusaha mengalihkan perhatian Derek selama menunggu ekstraksi sumsum tulang. Dokter ingin menentukan apakah ia memenuhi syarat untuk transplantasi Blood Cell Stem, dengan harapan terbaik untuk mengalahkan neuroblastoma, kanker masa kanak-kanak yang langka, yang didiagnosis pada November 2004.


 Cyndie, memeluk Derek pada tanggal 25 Juli 2005, setelah mengetahui Derek membutuhkan operasi untuk mengangkat tumor kanker di perutnya. Cyndie tampak emosional, “Bagaimana ia bisa mempertahankan pekerjaannya dan melakukan ini?” dia mulai bertanya-tanya.

 Menyadari bahwa Derek mungkin tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk mendapatkan SIM-nya, Cyndie membiarkan dia menyetir naik turun jalan di West Sacramento. 
Pada hari yang sama, 9 Februari 2006, Cyndie bertemu untuk pertama kalinya dengan pekerja dari rumah sakit yang kemudian selalu menjaga Derek dirumah, dan Cyndie menyadari tinggal sedikit waktu yang tersisa untuk Derek.

 Derek menangis setelah berargumen dengan Cyndie di UC Davis Cancer Center on Feb 14, 2006. 
Dia dan Dr William Hall berpendapat bahwa Derek harus memiliki serangkaian perawatan radiasi untuk mengecilkan tumor menyebar ke seluruh tubuh dan meringankan rasa sakit.
Derek, kamu mungkin tidak akan bertahan jika kamu tidak melakukan ini” Cyndie berkata pada anaknya. Derek berteriak: “Aku tidak peduli! Bawa aku pulang. Aku sudah selesai, Bu. Apakah Ibu mendengarkan saya? Aku sudah selesai.”

 Cyndie menghibur sahabatnya, Kelly Whysong [kiri] pada 24 April 2006, khawatir "waktu" Derek sudah dekat, Cyndie menulis surat kepada Derek tentang betapa beraninya dia selama perjuangan melawan kanker. Dia membacakan kepada putra bungsunya berulang kali, berharap ia masih dapat mengerti.

Setelah meletakkan bunga di samping kepala anaknya, Cyndie menangis terisak-isak jatuh ke lantai pada tanggal 25 April, sahabatnya, Kelly Whysong, kiri, dan teman yang lain, Nick Rocha, menenangkannya. Derek terlalu lemah untuk mengenali kehadiran ibunya.

 Derek memiliki energi terakhir setelah berhari-hari Cyndie menjaganya di samping tempat tidurnya. Dia membantu anaknya yang kesakitan berjalan. 
Pada 26 April. Sebuah kanker tumor diperut Derek membesar begitu cepat sehingga celananya tidak muat lagi. Tumor lain di otaknya mengganggu penglihatannya membuat sulitnya bernavigasi dirumah kontrakan mereka.

 Derek menolak untuk minum obat karena ia takut merusak organnya lebih parah. Ia mengamuk pada ibunya pada 28 April, menyalahkan dia karena tidak membuatnya lebih sehat. 
Kamu harus menenangkan diri dan bantu saya untuk membantu kamu,” kata Cyndie.

 Derek mencium ibunya di Relay for Life Benefit, bersama saudara perempuannya yang berumur 6 tahun, Brianna. Cyndie merekrut banyak relawan untuk acara itu. 
Sebelum perlombaan, Cyndie berbicara kepada penonton betapa ia bangga dengan keberanian putranya selama melawan kanker.

Cyndie memegang Derek pada 8 Mei. Dia sedang dalam pengobatan yang menghambat kemampuan bicaranya dan selalu terbangun di malam hari. 
Cyndie menghabiskan hampir setiap saat hari di sisinya kecuali beberapa menit sementara perawat rumah sakit mengurusnya, “Aku sangat lelah tapi aku harus melakukan ini. 
Dia akan memanggil nama saya dan selalu mengharapkan saya untuk berada disebelahnya,” kata Cyndie.

Dalam upaya untuk mengajak Derek keluar, Cyndie mendorongnya melalui pintu depan melewati gambar-gambar dan kartu diberikan kepada anaknya oleh teman-teman sekelasnya di SD Pulau Bridgeway. 
Sama seperti bayi yang baru lahir, ia perlu untuk keluar dan menghirup udara segar,” katanya. 
Itu adalah perjalanan terakhir di luar rumah.

 Cyndie melawan tangis emosinya pada tanggal 10 Mei, saat dia bersiap menguras kateter Derek dengan larutan garam sebelum perawat Sue Kirkpatrick [kiri] memberikan obat penenang yang akan memberikan Derek kematian yang damai
Aku tahu dalam hatiku, aku sudah melakukan semua yang saya bisa,” kata Cyndie.

 Cyndie menimang Derek dengan lagu, “Because We Believe,” yang di putar di CD. 
Ia bernyanyi berbisik bersamaan dengan Andrea Bocelli. 
Sekali dalam setiap kehidupan, Ada saatnya, Kita berjalan keluar sendirian, Dan ke dalam cahaya ” 
Dari kiri, teman-teman keluarga Ashley Berger, Amy Whysong Morgan dan Kelly menenangkan Cyndie yang sedang berkata kepada Derek, “Tidak apa-apa, Sayang. Aku mencintaimu, anakku yang kecil. Aku mencintaimu, anakku yang pemberani. Aku cinta kamu. Aku mencintaimu.” 
Derek meninggal segera setelah di pelukan ibunya pada 10 Mei 2006.

 Cyndie memimpin peti mati Derek untuk penguburan dengan bantuan dari putra-putranya Anthony Moffe [depan] Mikha Moffe [sebrangnya] dan Vincent Morris [yg tidak terlihat] dan juga beberapa teman. 

Aku akan selamanya mengenangmu dalam hatiku dan mengingatkan orang lain untuk memberikan waktu mereka, energi dan dukungan kepada keluarga lain seperti kita,” kata Cyndie di pemakaman. 

Derek dimakamkan di Mount Vernon Memorial Park di Fair Oaks, California, pada 19 Mei 2006.

۩۞۩ Kasih Sayang Seorang Ibu

Denai - Suatu hari ada seorang bayi yang akan dilahirkan ke dunia.
Sang bayi bertanya kepada Tuhan, "Para malaikat mengatakan bahwa besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tapi bagaimana cara saya hidup di sana, saya begitu kecil dan lemah?"


Tuhan menjawab "Saya telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu."

Sang bayi bertanya lagi "Dan bagaimana saya bisa mengerti saat orang-orang berbicara kepadaku, saya tidak mengerti bahasa mereka?"

Tuhan menjawab "Malaikatmu akan berbicara kepadamu dengan bahasa yang paling indah yang pernah kamu dengar; dan dengan penuh kesabaran dan perhatian dia akan mengajarkan bagaimana kamu berbicara."

Sang bayi bertanya lagi "Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya?"

Tuhan menjawab "Malaikatmu akan melindungimu, walaupun hal itu mengancam jiwanya."

Sang bayi bertanya lagi"Pasti saya akan merasa sedih karena tidak melihatMU lagi."

Tuhan menjawab"Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku, dan akan mengajarkan kepadamu bagaimana agar kau bisa kembali kepadaKu, walapun sesungguhnya Aku selalu berada disisimu."

Saat itu Surga begitu tenangnya sehingga suara dari bumi dapat terdengar, dan sang anak bertanya perlahan kepada Tuhan, "Tuhan... jika saya harus berangkat sekarang, bisakah Engkau memberi tahu aku nama malaikat tersebut?"

Jawab Tuhan "Kamu akan memanggil malaikatmu dengan panggilan Ibu...!"

=======================================================
Ibu....
Ibu adalah sahabat sejati, hanya ibulah yang tetap bersama kita dalam semua kesusahan, kesedihan dan saat tergelap dalam hidup kita...
love u momz...
========================================================

Kisah : Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput Suamiku..

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Denai - Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri.

Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah.

Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak.

“Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku.

Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba.
Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih.

Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku.

Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada.

Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.

Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental.

Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.

Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote.

Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit.

Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.

Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.. ::

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! 

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Terkadang disaat bersama kita kurang menghargai orang orang yang bersama kita, disaat kehilangan nya baru kita mengenal apa itu arti cinta sebenarnya. Sebelum kita ditinggalkan orang2 yang tercinta, yang setia menemani kita, berikan lah balasan cinta kita sepenuh hati pada mereka, sekarang masih belum terlambat teman2.

Saatnya kita mencontoh Binatang


Denai - Mari petikan setangkai bunga untuk kekasih hati

Lebih tinggi, lebih mudah menangkap bola dong

Siapapun kamu, walaupun berbeda dengan kami, kami akan selalu menghangatkanmu

Klo ga kuat manjat ya gendong dong

Klo bersatu pasti kita bisa lawan predator ini gan! Cobra : "lu beraninya kroyokan neh

Mari buat lingkaran dan diskusi

Santai gan, yang bawah bagianya paling banyak dah

Miauw...mau ngintip aja susah amat

beruang1: Cepetan bro, ane mau tidur diatas neh,beruang2: Lu berisik ajah gan. Bokong ente bau tau !

Mari berbagi kawanku ! 

Anakku, aku akan membawa kalian kemanapun aku pergi.

Ui Lu yang dikanan...tahan jepitanya lebih semangat donk ! Mau lu ntar kejeplak ?

Cepetan dikit napa lu dok. Jangan nyelem yah ! Ntra guwa bisa mampus

Kita bawa bersama !

Gotong bareng2 yuk biar ringan

Bentar lagi gan tahan ! ane mau baca ni note majikan !

Kasih Sayang...Hmmm is the best !

Haduh ma, enak bgt nih numpang kek gini. kagak capek 

Wortelnya bagi 4 deh ntr hehe

 Mari berjabat tangan

Cerita Mengharukan Pengemis Dan Gadis Baik Hati

Denai - Seorang warga China bernama Feng Nao yang menunjukkan perbuatan seorang gadis yang cantik dan berhati mulia ini. Menurut kenyataan kisah di dalam gambar ini:

"Ketika hujan lebat turun secara tiba-tiba, seorang lelaki tua yang kurang upaya tidak berdaya bergelut di dalam hujan lebat untuk menyelamatkan diri. Ketika itu seorang gadis cantik yang membawa payung bergegas berlari di dalam hujan lebat untuk memberi perlindungan dan menjaga orang tua kurang upaya itu.

 Walaupun payung itu tidak cukup untuk melindungi diri orang tua itu daripada dibasahi hujan lebat, namun gadis itu tetap berada di sisi lelaki tua itu di dalam kebasahan hujan …dan ia menjadi adegan yang paling indah di dalam hujan lebat itu."

Walaupun payung itu tidak mampu menghalang lelaki tua ini daripada kebasahan, gadis ini tetap terus melindunginya.



Seorang lelaki berpakaian uniform (di dalam bulatan) sekadar memerhatikan dari jauh.


kelihatan bahwa hujan lebat yang turun secara tiba-tiba menyebabkan lelaki tua peminta sedekah yang lumpuh kakinya bergerak perlahan-lahan dengan kereta kayu yang kecil. Melihatkan keadaan ini, seorang gadis berbaju merah jambu sambil memegang payung di tangannya bergegas di dalam hujan untuk melindungi peminta sedekah.

Tetapi tidak berdaya, payung itu benar-benar tidak berupaya untuk melindungi lelaki tua itu daripada hujan lebat. Di dalam gambar tersebut, ia boleh dilihat bahawa payung di tangan gadis itu benar-benar melindungi pengemis, manakala pakaiannya sendiri sudah sepenuhnya lencun kerana air hujan.

Kisah Cinta Yang Dramatis Dari China

Denai - Satu kisah cinta baru-baru ini keluar dari China dan langsung menyentuh seisi dunia.
Kisah ini adalah kisah seorang laki-laki dan seorang wanita yang lebih tua, yang melarikan diri untuk hidup bersama dan saling mengasihi dalam kedamaian selama setengah abad.



Laki-laki China berusia 70 tahun yang telah memahat 6000 anak tangga dengan tangannya (hand carved) untuk isterinya yang berusia 80 tahun itu meninggal dunia di dalam goa yang selama 50 tahun terakhir menjadi tempat tinggalnya.
50 tahun yang lalu, Liu Guojiang, pemuda 19 tahun, jatuh cinta pada seorang janda 29 tahun bernama Xu Chaoqin ….


Seperti pada kisah Romeo dan Juliet karangan Shakespeare, teman-teman dan kerabat mereka mencela hubungan mereka karena perbedaan usia di antara mereka dan kenyataan bahwa Xu sudah punya beberapa anak…


Pada waktu itu tidak bisa diterima dan dianggap tidak bermoral bila seorang pemuda mencintai wanita yang lebih tua…..Untuk menghindari gossip murahaan dan celaan dari lingkungannya, pasangan ini memutuskan untuk melarikan diri dan tinggal di sebuah goa di Desa Jiangjin, di sebelah selatan Chong Qing.


Pada mulanya kehidupan mereka sangat menyedihkan karena tidak punya apa-apa, tidak ada listrik atau pun makanan. Mereka harus makan rumput-rumputan dan akar-akaran yang mereka temukan di gunung itu. Dan Liu membuat sebuah lampu minyak tanah untuk menerangi hidup mereka.


Xu selalu merasa bahwa ia telah mengikat Liu dan is berulang-kali bertanya,”Apakah kau menyesal?” Liu selalu menjawab, “Selama kita rajin, kehidupan ini akan menjadi lebih baik”.
Setelah 2 tahun mereka tinggal di gunung itu, Liu mulai memahat anak-anak tangga agar isterimya dapat turun gunung dengan mudah. Dan ini berlangsung terus selama 50 tahun.

Setengah abad kemudian, di tahun 2001, sekelompok pengembara (adventurers) melakukan explorasi ke hutan itu. Mereka terheran-heran menemukan pasangan usia lanjut itu dan juga 6000 anak tangga yang telah dibuat Liu.
Liu Ming Sheng, satu dari 7 orang anak mereka mengatakan, “Orang tuaku sangat saling mengasihi, mereka hidup menyendiri selama lebih dari 50 tahun dan tak pernah berpisah sehari pun. Selama itu ayah telah memahat 6000 anak tangga itu untuk menyukakan hati ibuku, walau pun ia tidak terlalu sering turun gunung.


Pasangan ini hidup dalam damai selama lebih dari 50 tahun. Suatu hari Liu yang sudah berusia 72 tahun pingsan ketika pulang dari ladangnya. Xu duduk dan berdoa bersama suaminya sampai Liu akhirnya meninggal dalam pelukannya. Karena sangat mencintai isterinya, genggaman Liu sangat sukar dilepaskan dari tangan Xu, isterinya.

“Kau telah berjanji akan memeliharakanku dan akan terus bersamaku sampai akan meninggal, sekarang kau telah mendahuluikun, bagaimana akan dapat hidup tanpamu?”
Selama beberapa hari Xu terus-menerus mengulangi kalimat ini sambil meraba peti jenasah suaminya dan dengan air mata yang membasahi pipinya.

Tata Rias Zombie



DenaiBulan oktober memang identik dengan bulan halloween dimana beberapa negara di dunia merayakannya setiap akhir bulan oktober. Menurut sejarahnya, Halloween identik dengan Jack O'Lantern yang biasanya disimbolkan dengan buah labu, namun dalam perkembangannya khususnya di Negara Paman sam Amerika berubah menjadi sebuah perayaan kostum-kostum menarik (kecenderungan kostum menakutkan).

Antusias semangat perayaan Halloween di Amerika bisa dilihat dari bagaimana masyarakat disana berlomba-lomba mempersiapkan diri untuk bisa tampil dengan kostum yang bisa mencuri perhatian khalayak. Seperti yang bisa kamu lihat dibawah ini, langkah-langkah (step by step) yang sangat detail untuk menjadi mayat hidup (zombie) demi perayaan Halloween.